Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Arifin C Noer dan Sebuah Cerita yang Tak Pernah Luruh

29 September 2024   22:10 Diperbarui: 29 September 2024   22:44 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: inews.id

Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah sebuah karya yang tidak dapat dipisahkan dari konteks politik di mana ia dibuat. Pada tahun 1984, ketika film ini pertama kali dirilis, Orde Baru sedang berada dalam puncak kekuasaannya. Sejarah harus dikisahkan dengan satu narasi: bahwa PKI adalah musuh negara, dan bahwa tragedi 1965 adalah bukti betapa bahayanya ideologi tersebut. 

Bagi generasi kami, film ini membentuk pemahaman kami tentang G30S/PKI dan komunisme. Namun, di balik narasi yang diproyeksikan, ada satu hal yang tak pernah kusadari waktu itu---film ini, dengan segala detailnya, adalah karya yang sangat personal bagi Arifin C. Noer.

Noer menggunakan teknik dramatisasi dan teatrikal dalam banyak adegan. Gerakan lambat saat adegan pembunuhan berlangsung, wajah-wajah yang penuh ketegangan, dan penggunaan pencahayaan gelap untuk menonjolkan ketidakpastian---semua elemen itu terasa lebih sebagai karya teater daripada sekadar film dokumenter. Ia menciptakan sebuah realitas yang tidak hanya menceritakan kembali kejadian, tetapi menanamkan perasaan takut dan benci yang mendalam kepada audiens.

Namun, di balik itu semua, kita harus bertanya: apakah Arifin C. Noer benar-benar percaya pada narasi tunggal ini? Atau mungkin, sebagai seorang seniman, ia sedang menuturkan sesuatu yang lebih dari sekadar peristiwa politik?

Dilema Sang Seniman

Sulit untuk tidak merasakan dilema yang mungkin dihadapi oleh Noer saat membuat film ini. Sebagai seniman, ia tentu menginginkan kebebasan dalam berekspresi, namun sebagai manusia yang hidup dalam rezim yang otoriter, pilihannya sangat terbatas. Barangkali, seperti yang dialami banyak seniman di masa itu, Noer terjebak dalam kenyataan bahwa untuk bertahan sebagai seorang pembuat film, ia harus mengkompromikan idealismenya.

Apakah ia merasa bersalah karena menyutradarai film yang akhirnya digunakan sebagai alat propaganda? Tidak ada yang bisa memastikan. Namun, yang pasti adalah bahwa film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi warisan ambigu dalam perjalanan hidupnya. Film ini dikenang bukan hanya sebagai karya sinematik, tetapi juga sebagai bagian dari upaya pemerintah Orde Baru untuk memperkokoh kekuasaannya dengan menciptakan musuh bersama.

Kemanusiaan di Balik Kontroversi

Yang menarik, ketika kita berbicara tentang film ini hari ini, setelah reformasi membuka banyak tabir sejarah yang tersembunyi, ada hal yang sering kita lupakan: bahwa Arifin C. Noer adalah manusia. Ia mungkin tidak sepenuhnya menyadari dampak yang akan dihasilkan oleh film tersebut. Atau mungkin, ia hanya mengikuti arus, seperti banyak dari kita yang pernah merasa tidak berdaya di tengah situasi yang tidak kita pahami sepenuhnya.

Karya Noer dalam Pengkhianatan G30S/PKI mungkin dipenuhi oleh tuntutan politik, tetapi di dalamnya tetap ada elemen-elemen kemanusiaan. Di tengah gelapnya malam dan kekerasan yang terjadi, kita tetap dapat merasakan sisi manusiawi dari cerita ini---rasa takut, kemarahan, kehilangan. Bagi penonton, terutama generasi yang lahir setelahnya, film ini tidak hanya menampilkan narasi sejarah, tetapi juga perasaan-perasaan yang sangat manusiawi.

Noer mungkin tidak bermaksud untuk menanamkan rasa benci yang dalam kepada audiensnya, tetapi hanya menuturkan cerita yang telah ditugaskan kepadanya. Dalam proses itu, ia membawa kita menyelami ke dalam ketakutan manusia yang paling mendasar: takut terhadap pengkhianatan, takut terhadap kekuatan yang tidak bisa kita kendalikan, takut terhadap musuh yang mungkin tidak pernah kita kenal.

Warisan yang Sulit Dipahami

Seiring berjalannya waktu, Arifin C. Noer tidak hanya dikenang karena Pengkhianatan G30S/PKI. 

Ia juga meninggalkan jejak dalam film-film lain yang lebih personal, lebih intim, yang tidak melibatkan propaganda atau narasi politik besar. Karya-karyanya menunjukkan sensitivitas yang dalam terhadap kemanusiaan, sebuah kelembutan yang tidak selalu terlihat dalam film yang diingat oleh publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun