Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik. Maverick. Freetinker.

Menulis tentang orang dan peristiwa adalah perjalanan untuk menemukan keindahan dalam keberagaman. Setiap kisah hidup adalah sebuah karya seni yang layak untuk diabadikan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Hidup Perlahan di Tengah Hiruk Pikuk: Mengapa Tren Slow Living Kian Populer di Perkotaan

29 September 2024   07:41 Diperbarui: 29 September 2024   08:07 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: goodlife.id

Pada suatu pagi di Jakarta, seorang perempuan bernama Dian duduk di balkon kecil apartemennya sambil menikmati secangkir teh hijau. 

Ia baru saja menyelesaikan tugas pekerjaannya lebih cepat dari yang diharapkan, dan alih-alih segera beralih ke pekerjaan berikutnya, ia memutuskan untuk sejenak memperhatikan dedaunan yang bergerak pelan tertiup angin. Ini mungkin tampak sepele, namun bagi Dian, ini adalah simbol dari perubahan besar dalam hidupnya: mempraktikkan slow living.

Ketika kita membicarakan kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung, seringkali kita membayangkan kecepatan---semua orang bergerak cepat, berlomba dengan waktu, berusaha memenuhi harapan yang terus meningkat. Kecepatan ini tak hanya hadir dalam cara kita bekerja, namun juga dalam pola pikir. Namun, kini mulai muncul suara-suara yang berbeda. Di tengah laju yang tak henti-hentinya, ada sekelompok orang yang justru memilih untuk memperlambat ritme hidup mereka. Gerakan ini dikenal dengan istilah slow living, yang secara harfiah berarti hidup lambat. Namun, konsepnya jauh lebih dalam dari sekadar memperlambat langkah kaki.

Slow living lahir sebagai respons terhadap tekanan kehidupan modern, yang menuntut kita untuk terus produktif, cepat, dan efisien. Gaya hidup ini mengajak kita untuk kembali menghargai proses, merayakan momen kecil, dan fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Tren ini bukanlah hal yang sepenuhnya baru---akarnya bisa dilacak ke gerakan slow food yang dimulai di Italia pada akhir 1980-an sebagai bentuk protes terhadap fast food dan konsumerisme (Kompas, 15/7/24).

Namun, yang menarik adalah bagaimana slow living mulai diadaptasi oleh penduduk perkotaan di Indonesia, di mana tuntutan produktivitas dan kompetisi sangat tinggi. Sebuah paradoks muncul: di kota-kota yang tak pernah tidur, ada orang-orang yang justru memilih untuk memperlambat ritme hidup mereka. Mengapa?

Mencari Ketenangan di Tengah Kebisingan

Beberapa tahun lalu, Dian adalah salah satu dari mereka yang tenggelam dalam kecepatan kota besar. Seperti banyak pekerja kantoran lainnya, ia terbiasa bangun pagi dengan perasaan cemas, menghadapi kemacetan Jakarta yang seolah tiada akhir, dan pulang larut malam hanya untuk kembali mengulangi siklus yang sama keesokan harinya. Hidupnya penuh dengan target, deadline, dan notifikasi yang tak henti-hentinya datang dari ponselnya. Namun, suatu hari, ia merasakan sesuatu yang berbeda---tubuh dan pikirannya tak lagi bisa mengikuti ritme cepat itu.

"Saya mulai merasa bahwa hidup saya hanya berputar-putar di antara pekerjaan dan tekanan. Saya tak lagi punya waktu untuk diri sendiri. Dan di saat itulah saya mengalami burnout," kenang Dian.

Apa yang dialami Dian bukanlah hal yang langka. Burnout, atau kelelahan emosional dan fisik akibat tekanan yang berkepanjangan, menjadi salah satu masalah yang sering dialami oleh pekerja di kota-kota besar. Menurut data dari World Health Organization (WHO), tingkat stres dan masalah kesehatan mental di perkotaan semakin meningkat akibat ritme hidup yang terlalu cepat dan penuh tekanan (WHO, 2024). Di sinilah slow living hadir sebagai solusi.

Filosofi Hidup: Bukan Sekadar Lambat

Mungkin ada yang berpikir bahwa slow living hanyalah tentang memperlambat langkah, tapi sebenarnya konsep ini lebih dari itu. Slow living adalah cara untuk menjalani hidup dengan lebih sadar dan penuh makna. Ini adalah tentang menemukan keseimbangan antara kerja dan waktu pribadi, menghargai kualitas daripada kuantitas, dan yang paling penting, kembali pada esensi hidup.

"Slow living tidak berarti kita harus hidup lambat sepanjang waktu. Ini adalah tentang mengetahui kapan harus berhenti, kapan harus melambat, dan kapan harus bergerak cepat dengan penuh kesadaran," jelas Aida, seorang psikolog klinis dari Universitas Indonesia (Tempo, 12/9/24).

Aida menekankan bahwa slow living bukan berarti kita harus mengabaikan tanggung jawab atau menjadi tidak produktif. Sebaliknya, gaya hidup ini mengajak kita untuk memilih dengan bijak apa yang penting, dan meninggalkan hal-hal yang tidak memberikan nilai tambah. Ini juga tentang menghargai waktu---waktu untuk bekerja, waktu untuk diri sendiri, waktu untuk keluarga, dan waktu untuk beristirahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun