Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik. Maverick. Freetinker.

Menulis tentang orang dan peristiwa adalah perjalanan untuk menemukan keindahan dalam keberagaman. Setiap kisah hidup adalah sebuah karya seni yang layak untuk diabadikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Literasi? Kita Harus Lebih Sering Ngobrolin Buku di Tongkrongan

28 September 2024   14:11 Diperbarui: 28 September 2024   14:37 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berada di sebuah warung kopi di sudut kota, tepat di pinggir jalan, tempat di mana suara motor bersahut-sahutan dengan obrolan pengunjung.

Aroma kopi hitam yang kental bercampur dengan asap rokok, menembus langit malam yang sudah sedikit gerimis. Di meja sebelah, sekelompok anak muda tertawa terbahak-bahak, bercanda tentang kekalahan tim sepak bola kesayangan mereka. Di ujung sana, aku mendengar percakapan tentang series terbaru yang baru saja tayang di Netflix, lengkap dengan spoiler yang bertebaran ke mana-mana.

Tapi tak ada satu pun yang bicara tentang buku. Tak ada satu pun yang bertanya, "Hei, kamu lagi baca apa sekarang?" atau "Pernah baca buku ini nggak, bagus lho." Padahal, beberapa dari mereka jelas punya kapasitas untuk bicara tentang topik-topik yang lebih dalam. Di beberapa jam sepi, ketika tawa mereda, aku tahu obrolan bisa mengalir ke hal-hal yang serius---politik, hubungan antar manusia, bahkan perdebatan tentang makna hidup. Namun, diskusi tentang buku nyaris tak pernah muncul.

Ini bukan hanya cerita di satu sudut warung kopi. Di banyak tempat lain, pemandangan serupa berulang: tongkrongan kita ramai dengan percakapan tentang segala hal, kecuali buku. Kita sering mendengar keluhan bahwa minat baca di Indonesia rendah, tapi pernahkah kita bertanya, kenapa kita tak pernah membawa buku sebagai topik perbincangan dalam interaksi sehari-hari kita? Mengapa kita tidak menjadikan obrolan buku sebagai bagian dari tongkrongan?

Obrolan di Tongkrongan dan Budaya Literasi

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat literasi yang rendah. Berdasarkan data dari UNESCO, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang gemar membaca. Ini angka yang sangat rendah. Namun, masalah ini bukan semata-mata tentang seberapa banyak orang yang bisa membaca, melainkan bagaimana budaya membaca itu sendiri diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Membaca belum menjadi kebiasaan yang dilakukan dengan alami, apalagi menjadi bagian dari perbincangan ringan di tongkrongan.

Kita sering membicarakan berbagai macam topik: sepak bola, film, serial Netflix. Ketika ada film bagus, kita tanpa ragu-ragu langsung merekomendasikannya ke teman-teman. Bahkan, sering kali kita memaksa mereka untuk menontonnya. "Lo harus nonton film ini, keren banget!" Lalu mereka, tanpa pikir panjang, akan meluangkan waktu untuk menontonnya. Tapi, ketika menyangkut buku, kenapa tak pernah ada paksaan semacam itu? Bukankah buku juga bisa membuka wawasan dan memberikan pengalaman yang tak kalah mendalam dibandingkan film atau serial?

Di tongkrongan, kita sering mendengar diskusi yang panjang lebar tentang dunia hiburan. Kadang, obrolan bisa sampai tengah malam, membahas teori konspirasi di balik alur cerita sebuah series. Coba bayangkan, jika diskusi tentang buku juga bisa berlangsung dengan intensitas yang sama. Bayangkan, kita memulai percakapan dengan, "Gue baru baca buku tentang demokrasi, ada argumen menarik tentang kegagalan sistem politik modern." Diskusi yang awalnya biasa-biasa saja, bisa berubah menjadi perdebatan yang mendalam, penuh gagasan yang memperkaya cara berpikir kita.

Kenapa Buku Sulit Masuk dalam Obrolan?

Salah satu alasan kenapa buku jarang dibicarakan di tongkrongan mungkin karena kita menganggapnya sebagai sesuatu yang terlalu berat. Membaca sering dilihat sebagai aktivitas individual yang butuh konsentrasi dan waktu. Berbeda dengan menonton film yang bisa dilakukan secara santai dan instan, membaca buku membutuhkan komitmen lebih. Tapi, apakah benar sesulit itu? Kenapa kita tidak mencoba membicarakan buku yang kita baca dengan cara yang lebih sederhana, lebih santai, lebih membumi?

Buku sering kali dihadapkan dengan stigma sebagai sesuatu yang serius dan intelektual. Seolah-olah, berbicara tentang buku harus selalu melibatkan analisis mendalam dan referensi akademis. Padahal, tidak semua buku seperti itu. Banyak buku yang sebenarnya ringan, menyenangkan, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari kita. Buku-buku ini bisa menjadi bahan obrolan yang menarik di tongkrongan, asal kita tahu bagaimana cara membawanya.

Lihat saja buku-buku seperti Filosofi Teras karya Henry Manampiring, yang mengemas filsafat Stoikisme dalam bahasa yang mudah dimengerti dan sangat relevan dengan masalah sehari-hari. Atau karya Laut Bercerita dari Leila S. Chudori yang mengajak kita memahami sejarah Indonesia dari sudut pandang personal, dengan alur yang emosional dan menyentuh. Buku-buku seperti ini seharusnya bisa menjadi bahan pembicaraan yang asyik di tongkrongan, jika saja kita mau memulainya.

Contoh dari Media Lain: Series dan Sepak Bola

Mari kita lihat bagaimana kita berbicara tentang film atau serial Netflix. Kita menonton serial di rumah masing-masing, namun begitu bertemu di tongkrongan, topik itu selalu muncul. Seolah-olah, menonton serial adalah tugas kolektif yang harus diselesaikan bersama. Bahkan, ada semacam tekanan sosial untuk menonton sesuatu yang sedang ramai dibicarakan. Teman-teman yang belum menonton akan merasa ketinggalan dan akhirnya dipaksa untuk menonton juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun