Ada satu hal yang selalu mengganggu benak saya setiap kali musim pilkada tiba: mengapa kita memilih?
Pertanyaan ini, sederhana pada permukaannya, perlahan menjadi semakin dalam ketika kita menelusuri lebih jauh. Apa yang sebenarnya kita pilih? Seorang pemimpin? Ide? Janji? Atau, mungkin, kita hanya memilih harapan? Di tengah teriakan yel-yel kampanye, spanduk yang bertebaran, dan janji-janji yang ditaburkan, saya merasa seolah-olah ada makna yang hilang di antara semua kegaduhan ini.
Pilkada, bagi banyak orang, hanyalah momen lima tahunan untuk menyuarakan pilihan mereka. Namun, bagi saya, pilkada adalah panggung besar bagi kita semua, bukan hanya calon pemimpin, tetapi juga para pemilih. Di sinilah kita berdiri, menimbang-nimbang siapa yang layak, dengan segala keterbatasan dan prasangka yang kita miliki. Dan di sinilah letak dilema epistemologi---bagaimana kita tahu bahwa pilihan kita benar?
Epistemologi Pilkada: Bagaimana Kita Mengetahui Kebenaran?
Dalam setiap pilkada, kita dihadapkan pada lautan informasi yang tiada habisnya. Ada data yang disajikan dalam bentuk survei, laporan media, dan debat publik. Tapi di antara semua itu, saya sering merasa tersesat. Apakah informasi yang kita terima benar-benar mencerminkan kenyataan? Atau, seperti yang sering kita temui, apa yang tampak di permukaan hanyalah permainan citra dan retorika?
Ketika saya mengingat filosofi Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa pengetahuan kita terbentuk dari pengalaman indera dan konsep-konsep rasional, saya merenung. Dalam dunia modern ini, di mana media sosial berperan sebagai jembatan utama informasi, apakah kita bisa mengatakan bahwa pengetahuan kita tentang calon pemimpin sungguh rasional? Di sini, kita mulai memahami peran epistemologi dalam pilkada---bagaimana kita bisa memisahkan kebenaran dari ilusi?
Saya tidak bisa tidak teringat sebuah penelitian oleh Reuters Institute yang mengungkapkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat penyebaran hoax tertinggi di Asia Tenggara. Hoax politik yang disebarkan melalui media sosial seringkali membentuk opini publik lebih dari fakta sebenarnya. Di sinilah epistemologi menjadi krusial: jika kita tidak memiliki fondasi pengetahuan yang kuat, bagaimana mungkin kita dapat membuat pilihan yang benar?
Sebagai pemilih, kita harus mulai menyadari bahwa tidak semua yang kita lihat atau dengar itu benar. Kita harus mengasah kemampuan kritis, mempertanyakan sumber informasi, dan tidak begitu saja terjebak dalam narasi yang dibangun oleh media atau para calon. Dalam dunia yang semakin dipenuhi dengan disinformasi, kebenaran menjadi sesuatu yang perlu dicari dengan kesadaran penuh, bukan sekadar diterima mentah-mentah.
Ontologi Pilkada: Siapakah Pemimpin yang Kita Pilih?
Setelah kita memahami bagaimana pengetahuan terbentuk, pertanyaan berikutnya muncul: Apa sebenarnya yang kita pilih? Siapa pemimpin yang kita inginkan? Di sinilah ontologi, studi tentang hakikat keberadaan, memainkan peran penting. Dalam setiap pilkada, kita dihadapkan pada berbagai pilihan calon dengan karakter, latar belakang, dan visi yang berbeda. Tapi apa yang membuat seorang calon menjadi pemimpin yang layak?
Bagi sebagian orang, pemimpin adalah seseorang yang mampu membawa perubahan ekonomi. Bagi yang lain, pemimpin adalah sosok yang kharismatik dan penuh daya tarik. Tetapi apakah karakteristik tersebut cukup untuk mendefinisikan hakikat seorang pemimpin?
Plato, dalam karyanya Republic, menggambarkan pemimpin yang ideal sebagai seorang filsuf-raja, seseorang yang memiliki kebijaksanaan, keadilan, dan kebaikan hati. Namun, dalam praktiknya, kita seringkali terjebak dalam memilih pemimpin berdasarkan penampilan dan janji-janji kosong. Kita cenderung melupakan esensi sebenarnya dari kepemimpinan, yang bukan hanya tentang apa yang tampak di permukaan, melainkan apa yang ada di dalam hati dan pikiran mereka.