Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jaran Goyang Politik: Bagaimana Dangdut Membentuk Opini Publik

27 September 2024   21:15 Diperbarui: 30 September 2024   14:34 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kumparan.com

Malam mulai menua, namun alun-alun kota kian gemuruh oleh irama dangdut yang menggema dari sebuah panggung kecil.

Lampu-lampu warna-warni menari di udara, menghias malam dengan percikan cahaya. Di atas panggung, biduan perempuan bersuara merdu, dengan pakaian gemerlap, menyanyikan lagu yang tak asing di telinga warga.

Orang-orang berkumpul, bukan hanya untuk mendengarkan musik, tetapi juga untuk merasakan denyut harapan yang kian menguat bersama irama. Beberapa menit sebelum konser dimulai, calon pemimpin daerah, dengan pidato singkat dan lugas, mengajak masyarakat untuk mempercayakan masa depan pada janji-janji yang mereka bawa.

Dan di balik semua itu, suara dan musik yang mengalun, bukan sekadar hiburan. Ia adalah jembatan yang menghubungkan emosi dengan opini politik, ruang di mana pesan terselubung disampaikan melalui nada dan harmoni.

Tahun 2024 adalah tahun di mana suara, musik, dan biduan sekali lagi menjadi alat politik yang memikat. Dalam rangkaian Pilkada yang akan digelar serentak pada 27 November, musik dangdut kembali merajai panggung-panggung kampanye.

Tidak hanya sebagai pengisi acara, tetapi juga sebagai senjata ampuh untuk menggaet massa dan membentuk opini publik. Kampanye politik tidak lagi hanya berisi janji dan visi, tetapi juga alunan lagu yang menyentuh hati, memicu kenangan, dan melahirkan simpati. Seperti sebuah senjata yang tersembunyi dalam irama, musik menjadi bahasa universal yang melampaui batas-batas rasionalitas pemilih.

Dangdut: Senjata Lama dengan Wajah Baru

Sejak lama, musik dangdut telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kampanye politik di Indonesia. Pada masa Orde Baru, dangdut mulai menapaki panggung politik, digunakan oleh para politisi untuk mendekatkan diri kepada rakyat. Pada Pilkada 2024, strategi ini tetap relevan, bahkan lebih diperkuat dengan kemajuan teknologi tata suara dan penyebaran video kampanye melalui media sosial.

Studi yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Pilkada 2020 menunjukkan bahwa dangdut efektif dalam memengaruhi emosi pemilih.

Sebagai musik rakyat yang akrab di telinga banyak warga Indonesia, dangdut dapat menghadirkan rasa kebersamaan dan kesamaan nasib antara kandidat dan rakyat. Lagu-lagu dengan lirik sederhana dan mudah diingat, seperti "Sakitnya Tuh di Sini" atau "Kopi Dangdut," membangkitkan perasaan yang menghubungkan pemilih dengan kandidat secara emosional.

Di berbagai daerah, terutama di pedesaan, dangdut menjadi hiburan yang sangat ditunggu-tunggu. Dalam sebuah kampanye di Jawa Timur pada Pilkada 2018, seorang calon bupati mendatangkan penyanyi dangdut terkenal untuk memeriahkan acaranya. Warga desa datang berbondong-bondong, bukan hanya untuk mendengar pidato politik, tetapi juga untuk menikmati musik gratis. Dalam suasana tersebut, batas antara politik dan hiburan menjadi kabur. Pemilih terhibur, tetapi di balik layar, preferensi politik mereka perlahan-lahan mulai terbentuk.

Peran Audio System dan Pengaturan Suara dalam Kampanye

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun