Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik. Maverick. Freetinker.

Menulis tentang orang adalah perjalanan untuk menemukan keindahan dalam keberagaman. Setiap kisah hidup adalah sebuah karya seni yang layak untuk diabadikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Jaran Goyang Politik: Bagaimana Dangdut Membentuk Opini Publik

27 September 2024   21:15 Diperbarui: 27 September 2024   21:32 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kumparan.com

Selain kehadiran musik dangdut, salah satu aspek krusial dari kampanye yang sering diabaikan adalah sistem tata suara atau audio system. Kualitas suara yang dihasilkan dari speaker besar yang menggelegar sering kali memainkan peran lebih besar daripada yang terlihat.

Menurut pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Dr. Herlambang, sistem tata suara tidak hanya menyampaikan pesan politik, tetapi juga menciptakan kesan tentang kekuatan dan otoritas kandidat. "Dalam setiap nada dan frekuensi suara yang disiarkan, terdapat pesan tersembunyi yang membentuk persepsi publik," jelasnya.

Audio system yang baik dapat meningkatkan daya tarik kampanye. Suara yang lantang dan jelas, tanpa cacat, membuat calon pemimpin terdengar lebih tegas dan meyakinkan. Sebaliknya, suara yang lemah atau bergema buruk dapat menciptakan kesan keraguan dan ketidakpastian. Ini adalah seni manipulasi suara yang telah lama dipahami oleh para ahli pemasaran politik. Dalam Pilkada 2024, banyak tim sukses calon pemimpin yang berinvestasi besar-besaran pada tata suara untuk memastikan bahwa setiap kata yang diucapkan terdengar tegas, merdu, dan penuh otoritas.

Lagu-Lagu Daerah: Jembatan Emosi dan Identitas

Selain dangdut, lagu-lagu daerah juga menjadi bagian penting dalam kampanye. Lagu-lagu ini tidak hanya membawa nostalgia, tetapi juga menyentuh akar budaya dan identitas lokal pemilih.

Dalam Pilkada 2024, di berbagai provinsi seperti Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Utara, lagu-lagu daerah yang dikombinasikan dengan kampanye politik akan menjadi alat ampuh untuk menarik simpati rakyat. Lagu seperti "Manuk Dadali" di Jawa Barat atau "Anging Mammiri" di Sulawesi Selatan dapat menguatkan rasa kebanggaan lokal, yang pada gilirannya memengaruhi opini politik.

Penelitian menunjukkan bahwa musik tradisional memiliki daya tarik emosional yang sangat kuat, terutama di komunitas pedesaan. Lagu-lagu yang menceritakan kisah-kisah lokal atau nilai-nilai kebersamaan dapat memperkuat pesan politik dan membuat kandidat terlihat lebih dekat dengan rakyat. Calon pemimpin yang memanfaatkan musik tradisional dalam kampanye mereka sering kali dianggap lebih peduli dan menghargai budaya lokal, sebuah strategi yang dapat meningkatkan elektabilitas secara signifikan.

Partisipasi Masyarakat Sipil: Antara Hiburan dan Kesadaran Politik

Namun, di tengah kemeriahan kampanye dengan musik dan hiburan, muncul pertanyaan kritis tentang kualitas partisipasi masyarakat dalam proses politik ini. Aktivis pro-demokrasi dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memperingatkan bahwa seringkali kampanye dengan hiburan semata dapat mengaburkan substansi politik. "Masyarakat perlu diajak untuk lebih kritis, bukan hanya datang karena dangdut atau biduan, tetapi benar-benar memahami program dan visi-misi kandidat," kata seorang aktivis Perludem.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di kota-kota kecil, tetapi juga di pusat-pusat perkotaan. Saat musik menjadi daya tarik utama, substansi pidato politik kerap terlupakan. Bahkan, banyak pemilih yang hadir di acara kampanye tidak benar-benar mendengarkan pesan politik kandidat. Mereka datang untuk hiburan, dan seringkali memilih berdasarkan siapa yang paling menghibur, bukan siapa yang memiliki program terbaik.

Tantangan inilah yang harus dihadapi oleh masyarakat sipil di Pilkada 2024. Di satu sisi, musik adalah alat yang efektif untuk merangkul massa. Namun, di sisi lain, masyarakat harus diajak untuk tidak terjebak dalam politik hiburan yang dangkal. Pemilih perlu didorong untuk lebih kritis, mengedepankan substansi dibandingkan sekadar terbuai oleh alunan lagu atau orasi yang membahana.

Musik sebagai Instrumen Politik

Pilkada 2024 akan menjadi ajang di mana musik, suara, dan kampanye politik bersatu dalam harmoni yang kompleks. Di satu sisi, musik dapat mempersatukan dan membentuk opini publik secara efektif.

Di sisi lain, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa musik tidak menggantikan substansi politik itu sendiri. Kampanye dengan musik dangdut, lagu daerah, dan sistem tata suara yang canggih memang ampuh dalam menarik massa, tetapi pada akhirnya, pemilih harus diyakinkan dengan program nyata dan visi yang jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun