Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Apakah Kita Perlu Belajar Demokrasi dari Pemilihan Ketua Osis?

26 September 2024   00:08 Diperbarui: 26 September 2024   15:48 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi banner pemilihan Osis | sman1janapria.sch.id

Di sebuah SMA di pinggiran Jakarta, suasana aula sekolah bergemuruh.

Dua calon Ketua OSIS berdiri di atas panggung, siap beradu argumen di hadapan teman-teman mereka. Debat ini jauh dari glamor, tidak ada jurnalis yang meliput, dan tidak ada tim kampanye mahal di belakang layar. Namun, yang terjadi di sini adalah bentuk paling murni dari demokrasi -- suatu sistem yang mungkin telah kita lupakan di tengah kompleksitas politik orang dewasa.

Debat pun dimulai. Calon pertama, seorang siswa yang rajin, berbicara tentang program kebersihan sekolah dan pengadaan tempat sampah tambahan. Di sebelahnya, pesaingnya, seorang siswa dengan kepedulian sosial tinggi, menawarkan program beasiswa untuk siswa berprestasi namun kurang mampu. Mereka berbicara dari hati, dengan fokus pada hal-hal nyata yang mereka tahu akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari teman-teman mereka.

Sementara itu, di tempat lain di Indonesia, persiapan menuju Pilkada 2024 sedang berlangsung. Para calon kepala daerah sedang sibuk melakukan kampanye, mengunjungi pasar tradisional, bertemu dengan petani, berbicara di hadapan pendukung. Setiap tindakan mereka disorot media, setiap janji mereka dikemas dengan rapi. Gimik politik menghiasi layar televisi dan media sosial. Dalam keriuhan itu, suara dan harapan rakyat sering kali tenggelam dalam jargon politik.

Apa yang bisa kita pelajari dari pemilihan Ketua OSIS yang sederhana dan tulus ini? Apakah, sebagai peserta dan pemilih Pilkada, kita perlu mengambil pelajaran dari model demokrasi yang dihidupkan di sekolah-sekolah? Mungkin jawabannya adalah ya, karena di balik kesederhanaannya, terdapat esensi demokrasi yang sering kali hilang dalam hiruk-pikuk politik orang dewasa.

Demokrasi di Tingkat Sekolah

Pemilihan Ketua OSIS bukan hanya soal siapa yang paling populer atau siapa yang bisa menawarkan janji-janji muluk. Di ruang kelas, para pemilih tahu siapa calon-calon ini dengan sangat baik. Mereka duduk bersama setiap hari, mengerjakan tugas kelompok, berdebat tentang tugas rumah, bahkan mungkin pernah beradu argumen tentang siapa yang harus memimpin proyek kelas. Koneksi personal ini menciptakan lingkungan di mana janji-janji politik menjadi lebih konkret, lebih bisa diukur, dan lebih mudah dipertanggungjawabkan.

Sebaliknya, dalam Pilkada, ada jarak yang cukup besar antara kandidat dan pemilih. Para kandidat sering kali hadir di kehidupan pemilih hanya sebagai wajah di baliho atau video kampanye yang diedit dengan cermat. Bahkan ketika mereka mencoba turun ke lapangan untuk bertemu rakyat, interaksi yang terjadi sering kali terasa dangkal dan penuh dengan formalitas. Di sini, di ruang politik orang dewasa, hubungan antara kandidat dan pemilih kehilangan sentuhan personal yang sangat penting.

Pemilihan OSIS mungkin tampak sederhana, tapi justru dalam kesederhanaan itulah letak kekuatannya. Setiap janji yang disampaikan terasa lebih bisa dijangkau dan lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari. Sementara di tingkat Pilkada, janji-janji besar tentang pembangunan infrastruktur atau proyek-proyek ambisius sering kali terasa jauh dari kenyataan, dan rakyat yang mendengarnya tidak selalu yakin apakah janji-janji itu akan terwujud.

Transparansi dan Kejujuran

Ada satu hal lagi yang membuat pemilihan Ketua OSIS begitu menarik: transparansi. Proses demokrasi di sekolah tidak diwarnai oleh kampanye hitam, taktik politik kotor, atau permainan uang. Para kandidat berkompetisi secara jujur, dan mereka tahu bahwa setiap suara berarti. Tidak ada tekanan dari partai, tidak ada janji tersembunyi, dan tidak ada 'tawaran istimewa' di balik layar. Ini adalah demokrasi yang murni, di mana para pemilih memilih berdasarkan hati nurani, bukan atas dasar tekanan atau uang.

Dalam Pilkada, sebaliknya, proses kampanye sering kali diwarnai oleh ketidakjelasan. Meski regulasi pemilu semakin ketat, kita sering mendengar tentang kasus politik uang, janji-janji manis yang tak mungkin direalisasikan, atau kampanye hitam yang merusak reputasi kandidat. Di balik layar, tim kampanye yang terdiri dari para ahli strategi bekerja keras untuk memastikan bahwa setiap langkah, setiap pernyataan, dan setiap janji dikemas dengan cermat agar dapat memenangkan hati rakyat. Sayangnya, sering kali transparansi yang kita harapkan dari proses demokrasi ini justru menguap.

Di sekolah, tidak ada kebutuhan untuk membayar pemilih atau menyebarkan kampanye negatif. Semua berjalan apa adanya. Para siswa, sebagai pemilih, menghargai kejujuran dan keterusterangan, dan mereka memberikan suaranya kepada calon yang benar-benar mereka percayai. Ini adalah pelajaran yang sangat penting bagi kita semua -- bahwa demokrasi yang sehat memerlukan kepercayaan, bukan manipulasi.

Gimik dan Keseriusan

Ada perbedaan mencolok dalam cara kandidat Pilkada dan calon Ketua OSIS menjalankan kampanye mereka. Di tingkat sekolah, gimik hampir tidak ada. Anak-anak tidak perlu melakukan pertunjukan besar untuk menarik perhatian. Mereka tidak perlu tiba-tiba mengunjungi kantin dan membeli makanan untuk semua orang hanya demi citra. Mereka tahu bahwa teman-temannya akan memilih berdasarkan karakter, bukan hanya karena satu tindakan spontan.

Sebaliknya, di Pilkada, gimik politik sering kali menjadi pusat perhatian. Dari aksi-aksi simbolis seperti mendadak turun ke pasar untuk berbelanja, hingga mengundang selebriti untuk tampil bersama dalam kampanye, gimik ini bertujuan untuk memenangkan hati rakyat dengan cara yang cepat dan mudah. Namun, setelah pemilu selesai, janji-janji yang dibungkus dalam gimik ini sering kali terlupakan. Di sekolah, janji sederhana seperti menyediakan dispenser air di setiap kelas atau memperbaiki lapangan olahraga memiliki dampak langsung yang bisa dirasakan oleh semua siswa. Di Pilkada, janji-janji besar seperti pembangunan infrastruktur sering kali terasa seperti mimpi yang jauh dari jangkauan.

Ketika para kandidat Pilkada berlomba-lomba menggunakan gimik untuk memenangkan perhatian, mungkin kita perlu merenung: apakah ini benar-benar mencerminkan esensi demokrasi? Apakah kita lebih menghargai pertunjukan daripada isi? Mungkin sudah waktunya untuk kembali ke nilai-nilai demokrasi yang lebih sederhana dan jujur.

Belajar dari Kesederhanaan

Mungkinkah kita orang dewasa perlu belajar dari anak-anak sekolah? Di satu sisi, ini terdengar terlalu sederhana. Bagaimana mungkin kita bisa mengambil pelajaran dari sebuah pemilihan yang begitu kecil dan tampaknya tidak penting? Namun, di sisi lain, di balik kesederhanaan ini, ada pelajaran mendasar tentang demokrasi yang sering kali kita lupakan. Demokrasi bukan hanya soal siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi juga soal bagaimana proses itu dijalankan -- apakah itu adil, jujur, dan terbuka?

Pemilihan Ketua OSIS mengajarkan kita tentang pentingnya keterhubungan langsung dengan pemilih, tentang kejujuran dalam berjanji, dan tentang menghindari gimik yang mengaburkan substansi. Di tengah suasana politik yang semakin kompleks dan terkadang penuh kepalsuan, pelajaran ini mungkin bisa menjadi cermin bagi kita orang dewasa---bahwa demokrasi, dalam bentuk yang paling murni, adalah tentang membangun kepercayaan dan memastikan bahwa setiap suara memiliki arti.

Refleksi

Pilkada 2024 akan menjadi salah satu peristiwa besar dalam demokrasi Indonesia. Kandidat akan bersaing untuk mendapatkan kepercayaan rakyat, dan kita sebagai pemilih akan dihadapkan pada berbagai pilihan. Namun, sebelum kita tenggelam dalam gemerlap kampanye dan janji-janji politik, mungkin ada baiknya kita sejenak merenung. Apa yang benar-benar kita harapkan dari demokrasi ini? Apakah kita ingin sistem yang lebih terbuka, jujur, dan terhubung dengan kehidupan kita sehari-hari? Jika iya, mungkin saatnya kita kembali melihat ke pemilihan Ketua OSIS dan mengambil pelajaran penting dari sana.

Pada akhirnya, demokrasi tidak hanya milik politisi, tetapi juga milik kita semua -- baik di gedung-gedung pemerintahan maupun di ruang-ruang kelas. Dan mungkin, di tengah politik yang sering kali terasa rumit, kita bisa belajar sesuatu yang berharga dari anak-anak sekolah tentang bagaimana demokrasi seharusnya dijalankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun