Di sebuah rumah kecil di pinggiran Jakarta, Arman, seorang pekerja berusia 35 tahun, baru saja pulang dari kantor.
Wajahnya lelah, namun tanggung jawab yang harus ia pikul lebih besar daripada rasa penat yang membebani tubuhnya. Di dalam rumah, dua anaknya yang berusia 5 dan 7 tahun sedang bermain. Di sudut lain, sang ibu yang sudah berusia 70-an terbaring di ranjang, memerlukan perawatan rutin akibat penyakit stroke yang dideritanya sejak beberapa tahun lalu.
Arman adalah gambaran nyata dari fenomena "sandwich generation" --- generasi yang berada di tengah, terhimpit oleh tanggung jawab merawat orang tua lanjut usia dan menghidupi anak-anaknya. Generasi ini tak hanya menanggung beban finansial yang berat, tetapi juga menghadapi tekanan mental dan emosional yang luar biasa. Meskipun berbakti kepada orang tua adalah nilai luhur yang dijunjung tinggi di masyarakat Indonesia, bagi sebagian orang, fenomena ini bisa menjadi lingkaran setan yang sulit diputus.
Bonus Demografi dan Naiknya Persentase Lansia
Pemerintah Indonesia optimis menyambut bonus demografi yang diprediksi akan terjadi pada tahun 2030 hingga 2040. Pada periode ini, jumlah penduduk usia produktif akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan penduduk tidak produktif, sebuah situasi yang dianggap akan membawa peningkatan ekonomi yang signifikan. Namun, di balik optimisme ini, ada bayang-bayang yang menghantui: persentase penduduk lanjut usia (lansia) yang semakin meningkat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, persentase penduduk lansia di Indonesia mencapai 11,75%, naik signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. DI Yogyakarta tercatat sebagai provinsi dengan persentase lansia tertinggi, yakni sebesar 17%, diikuti oleh Jawa Timur (14,4%), Bali (14,1%), dan Jawa Tengah (13,5%). Kondisi ini menjadi semakin kompleks karena banyak lansia di Indonesia yang tidak siap secara finansial menghadapi masa tua mereka.
Sebagian besar dari mereka mengandalkan anak-anak mereka untuk menopang kehidupan di hari tua. Dan di sinilah fenomena sandwich generation muncul. Sebanyak 4,55 juta milenial dan Gen Z di Indonesia kini harus menopang kehidupan lansia, dengan sekitar 3,93 juta di antaranya berada pada kelas ekonomi menengah ke bawah. Dengan pendapatan rata-rata Rp5,87 juta per bulan, tantangan keuangan yang mereka hadapi sangat besar.
Ladang Pahala atau Beban Tak Tertanggungkan?
Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, merawat orang tua adalah ladang pahala yang dijanjikan agama. Islam mengajarkan bahwa berbakti kepada orang tua adalah salah satu amalan yang paling mulia. Seperti yang dikatakan dalam hadits, "Keridhaan Allah terletak pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah terletak pada kemurkaan orang tua."
Namun, dalam kenyataannya, banyak generasi sandwich yang merasa terhimpit oleh beban ini. Apalagi bagi mereka yang berpenghasilan rendah, merawat orang tua lansia sambil membiayai kehidupan keluarga mereka sendiri menjadi tantangan yang hampir tak tertanggungkan. Teori yang diajarkan agama dan budaya sering kali tidak sejalan dengan praktek di lapangan.
"Setiap hari saya harus berpikir keras, bagaimana caranya membayar biaya sekolah anak, membeli kebutuhan harian, dan juga membayar obat-obatan ibu saya," kata Arman. "Kadang saya merasa kewalahan, seolah-olah tidak ada jalan keluar. Apa ini benar ladang pahala atau malah jadi malapetaka?"
Kisah Arman hanyalah satu dari jutaan cerita serupa yang tersebar di seluruh Indonesia. Bagi banyak sandwich generation, mereka terus berjuang dengan beban ganda yang tampaknya tidak ada akhirnya.