Di sebuah sudut pedesaan Musi Rawas, Sumatera Selatan, hari masih pagi ketika embun menetes dari daun padi yang hijau segar.
Suara gemerisik dedaunan tertiup angin lembut terasa damai, tapi di balik kedamaian itu, ada sebuah cerita yang penuh perjuangan. Pak Amin, seorang petani berusia 54 tahun, membungkuk memeriksa batang padi yang ditanamnya beberapa bulan lalu. Tangannya yang kasar penuh dengan tanda kerja keras, seolah-olah menggambarkan bagaimana tanah telah menjadi bagian dari tubuh dan hidupnya.
"Sawah ini sudah diwariskan dari bapak saya. Dulu, hidup petani tidak mudah, tapi juga tidak seperti sekarang. Sekarang, semakin sulit," katanya pelan, sesekali menyeka keringat di dahinya.
Pak Amin hanyalah satu dari jutaan petani kecil yang ada di Indonesia, negara yang dikenal sebagai lumbung padi Asia. Ironisnya, di negeri yang dikaruniai tanah subur dan sumber daya alam melimpah ini, kehidupan petani justru semakin terhimpit.Â
Di tengah peringatan ke-64 Hari Tani Nasional pada 24 September, sebuah paradoks besar menyelimuti sektor pertanian Indonesia: harga beras yang terus melonjak tinggi, tetapi para petaninya justru hidup dalam kemiskinan.
Ironi di Tanah Surga
Indonesia, yang telah lama dikenal sebagai negara agraris, selalu memandang pertanian sebagai salah satu sektor terpenting dalam perekonomian. Namun, seiring berjalannya waktu, sektor ini justru menjadi salah satu yang paling rentan. Laporan dari Bank Dunia baru-baru ini menyoroti ironi ini.Â
Di satu sisi, harga beras di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara. Namun di sisi lain, petani padi, yang seharusnya menjadi tulang punggung ketahanan pangan, justru hidup dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan.
Menurut Bank Dunia, kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari keterbatasan akses petani terhadap lahan produktif hingga tingginya biaya produksi yang harus mereka tanggung.Â
Di Musi Rawas, Pak Amin menanam padi di lahan seluas 0,75 hektar, yang diwarisi dari ayahnya. "Lahan semakin sempit, pupuk mahal, sementara harga jual padi di pasar selalu ditekan. Kadang, kami harus membeli beras dari hasil tani sendiri karena panennya tak cukup buat setahun," katanya dengan nada getir.
Kisah seperti yang dialami Pak Amin tidak hanya terjadi di Sumatera, tetapi juga di berbagai wilayah pertanian Indonesia. Petani kecil yang hidup di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua menghadapi tantangan serupa. Harga pupuk dan pestisida yang semakin mahal, keterbatasan teknologi, serta akses pasar yang kurang mendukung, membuat mereka semakin terjebak dalam siklus kemiskinan.
Paradoks Harga dan Kesejahteraan Petani
Harga beras yang tinggi seharusnya menjadi keuntungan bagi petani. Namun kenyataannya, sistem distribusi yang tidak adil dan dominasi pasar oleh tengkulak membuat keuntungan itu justru jatuh ke tangan perantara, bukan ke petani. Petani sering kali dipaksa menjual hasil panennya dengan harga murah karena kebutuhan mendesak untuk segera mendapatkan uang tunai. Di sisi lain, ketika beras sampai ke pasar, harganya melambung karena rantai distribusi yang panjang dan biaya tambahan lainnya.
"Setiap kali musim panen, kami sering kali berada dalam posisi lemah. Tidak ada pilihan selain menjual padi dengan harga yang mereka tawarkan. Kalau tidak begitu, kami tidak bisa beli pupuk untuk musim tanam berikutnya," lanjut Pak Amin.
Bank Dunia mencatat bahwa pendapatan rata-rata petani di Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, terutama mereka yang hanya memiliki lahan kurang dari 1 hektar. Dengan skala lahan yang kecil, sulit bagi petani untuk mencapai produktivitas tinggi yang mampu menopang kebutuhan hidup mereka.Â
Di sisi lain, harga pupuk dan biaya produksi lainnya terus meningkat. Hal ini membuat mereka harus mengandalkan subsidi pemerintah, yang sering kali tidak mencukupi atau terlambat disalurkan.
Pentingnya Reforma Agraria dan Teknologi Pertanian
Hari Tani Nasional yang diperingati setiap tanggal 24 September, sebenarnya berakar dari semangat reforma agraria yang digaungkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960. Saat itu, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) disahkan untuk memberikan keadilan bagi petani dalam penguasaan lahan. Namun setelah enam dekade, tujuan reforma agraria ini masih jauh dari kata tercapai.
Dalam konteks modern, reforma agraria tidak hanya berbicara soal distribusi lahan yang adil, tetapi juga soal akses terhadap teknologi pertanian dan pasar yang lebih baik. Inisiatif seperti pertanian organik dan diversifikasi tanaman telah terbukti berhasil meningkatkan pendapatan petani di beberapa wilayah.Â
Di Bali, misalnya, banyak petani yang beralih ke metode pertanian organik dengan bantuan pemerintah daerah dan LSM. Hasilnya, mereka tidak hanya mampu meningkatkan hasil panen, tetapi juga bisa menjual produk mereka dengan harga yang lebih tinggi di pasar internasional.
Namun, perubahan ini membutuhkan dukungan yang lebih luas, baik dari pemerintah maupun masyarakat. "Kami butuh akses ke teknologi yang lebih modern, pupuk yang terjangkau, dan pasar yang adil. Tanpa itu, sulit bagi kami untuk bertahan," kata Pak Amin.
Aksi Nyata: Dari Konsumen Hingga Pemerintah
Hari Tani Nasional tahun ini seharusnya menjadi momen bagi seluruh elemen masyarakat untuk beraksi nyata. Tidak hanya pemerintah yang perlu mendorong kebijakan agraria yang lebih adil, tetapi konsumen juga bisa berperan dalam mendukung kesejahteraan petani.Â
Dengan membeli produk-produk pertanian lokal, terutama dari petani kecil, konsumen bisa membantu meningkatkan pendapatan mereka.Â
Selain itu, program-program sosial seperti pengembangan koperasi tani dan pembukaan akses pasar langsung antara petani dan konsumen juga harus terus didorong.
Di tengah peringatan Hari Tani Nasional, sejumlah gerakan masyarakat sipil juga menyerukan pentingnya regenerasi petani. Saat ini, profesi petani semakin kurang diminati oleh generasi muda. Banyak anak-anak petani yang lebih memilih meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan di kota. Kondisi ini mengancam masa depan ketahanan pangan nasional.Â
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah harus memberikan insentif bagi kaum muda yang ingin terjun ke dunia pertanian. Pendidikan vokasional di bidang pertanian, bantuan modal, serta akses teknologi pertanian modern menjadi beberapa solusi yang dapat diterapkan.
Mimpi dan Harapan
Pak Amin menatap sawahnya dengan pandangan jauh. Meski penuh tantangan, ia tetap berharap anak-anaknya bisa melanjutkan perjuangannya sebagai petani.Â
"Saya ingin anak-anak saya tetap menghargai tanah ini, tanah yang sudah memberikan makan bagi kita semua. Tapi saya juga berharap mereka bisa hidup lebih baik, tidak harus menghadapi kesulitan seperti yang saya alami."
Harapan Pak Amin mungkin terdengar sederhana, tetapi itu adalah cerminan dari mimpi jutaan petani kecil di seluruh Indonesia. Di balik setiap butir nasi yang kita makan, ada cerita perjuangan dan pengorbanan mereka.
Pada peringatan Hari Tani Nasional yang ke-64 ini, mari kita bersama-sama menghargai perjuangan petani. Aksi nyata dari setiap individu bisa dimulai dengan hal-hal kecil: membeli produk pertanian lokal, mendukung kebijakan yang berpihak pada petani, dan menyuarakan pentingnya keadilan agraria.
Selamat Hari Tani Nasional. Mari kita bangkit bersama untuk petani, selamatkan sawah, dan wujudkan kedaulatan pangan Indonesia!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI