Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Kekuasaan dan Kemewahan: Mengapa Pamer Kekayaan Pejabat Negara dan Selebriti Dinilai Berbeda

24 September 2024   08:05 Diperbarui: 24 September 2024   08:11 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah-tengah hiruk-pikuk kehidupan Indonesia yang penuh warna, isu ketimpangan sosial tak pernah sepi dari perhatian.

Di era digital ini, di mana kehidupan pribadi, status sosial, dan gaya hidup kerap dipamerkan secara terbuka, publik Indonesia terus dihadapkan pada pemandangan dua dunia yang berbeda: pejabat negara dengan jabatan tinggi dan selebriti atau influencer dengan kehidupan mewah mereka.

Namun, ada perbedaan mencolok dalam cara masyarakat menilai kedua kelompok ini. Ketika pejabat negara memamerkan kekayaan, reaksi publik cenderung negatif. Sebaliknya, ketika selebriti atau influencer menunjukkan gaya hidup mewah, masyarakat sering kali lebih permisif, bahkan mengagumi mereka. Apa yang membuat perbedaan persepsi ini begitu tajam?

Pejabat Negara: Di Bawah Bayang-Bayang Amanat Rakyat

Seorang pejabat negara Indonesia sering kali dipandang sebagai pelayan masyarakat. Dengan gaji yang berasal dari pajak rakyat, mereka diharapkan menjalankan tugasnya dengan integritas, kesederhanaan, dan tanggung jawab. Karena itu, ketika ada pejabat yang memamerkan gaya hidup mewah, reaksi publik biasanya tajam, mencerminkan rasa kecewa dan kecurigaan terhadap sumber kekayaan tersebut.

Contoh nyata yang mengguncang publik baru-baru ini adalah kasus Rafael Alun Trisambodo, seorang pejabat pajak yang mendadak viral setelah gaya hidup mewah keluarganya terungkap di media sosial. Unggahan sang anak yang memamerkan motor gede Harley-Davidson dan jam tangan mewah menuai kritik keras dari warganet. "Pejabat kok kaya banget? Dari mana uangnya?" menjadi salah satu komentar yang viral di Twitter. Kasus ini memicu investigasi lebih lanjut yang akhirnya mengarah pada dugaan korupsi dan pencucian uang.

Dalam konteks pejabat negara, kekayaan yang tidak sebanding dengan penghasilan mereka sering kali dianggap sebagai indikasi penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi. Rakyat merasa dikhianati oleh mereka yang seharusnya mengabdi kepada kepentingan publik. "Tugas pejabat negara adalah melayani, bukan memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri," ungkap seorang aktivis antikorupsi di Kompas. Pejabat yang kaya raya, apalagi yang memamerkan kemewahan, dianggap melanggar kode moral dan etika publik, yang menuntut pejabat hidup sederhana dan bertanggung jawab.

Selebriti dan Influencer: Kehidupan Glamor yang Dikagumi

Di sisi lain, dunia selebriti dan influencer menawarkan narasi yang berbeda. Mereka dikenal karena popularitas, kerja keras, dan gaya hidup yang sering kali glamor. Ketika seorang selebriti seperti Raffi Ahmad memamerkan koleksi mobil mewahnya, atau ketika influencer seperti Rachel Vennya menunjukkan tas-tas desainer mahal, reaksi publik cenderung lebih lunak. Mereka melihat kekayaan selebriti ini sebagai hasil kerja keras dan dedikasi di dunia hiburan yang memang kompetitif dan penuh gemerlap.

Raffi Ahmad, yang dijuluki sebagai "Sultan Andara" oleh penggemarnya, sering kali menjadi pusat perhatian media sosial dengan kehidupan mewahnya. Rumah megahnya di kawasan Andara dan koleksi mobil sport yang mewah menjadi bagian dari identitas publiknya. Namun, berbeda dengan pejabat negara, publik cenderung melihatnya sebagai simbol kesuksesan yang diraih melalui usaha di dunia hiburan. "Dia memang bekerja keras sejak muda. Wajar kalau sekarang dia menikmati hasilnya," ujar salah seorang pengikut di Instagram Raffi.

Rachel Vennya, influencer yang juga sering memamerkan gaya hidup mewah, menerima pujian dan apresiasi dari penggemarnya. Mereka menganggap Rachel sebagai sosok mandiri yang berhasil membangun kekayaan dari usaha pribadi dan brand endorsement. Berbeda dengan pejabat negara, selebriti dan influencer tidak terikat oleh tanggung jawab moral sebagai pelayan publik. Mereka dianggap berhak menikmati dan menunjukkan hasil kerja keras mereka tanpa harus mempertanggungjawabkannya kepada publik.

Dua Standar Etika di Mata Publik

Lalu, mengapa masyarakat menerapkan dua standar etika yang berbeda terhadap pejabat negara dan selebriti?

Pertama, peran sosial yang mereka mainkan sangat berbeda. Pejabat negara dipandang sebagai representasi dari pemerintah dan tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan rakyat. Jabatan publik tidak hanya tentang kekuasaan, tetapi juga soal kepercayaan publik. Ketika seorang pejabat terpilih atau ditunjuk untuk posisi tertentu, ia mendapat mandat dari rakyat untuk mengelola kekayaan negara dengan bijak dan transparan. Oleh karena itu, ketika seorang pejabat terlihat hidup dalam kemewahan, publik secara otomatis mempertanyakan sumber kekayaan tersebut. Dalam pikiran masyarakat, kekayaan pejabat selalu terkait dengan integritas mereka dalam mengelola keuangan negara.

Sebaliknya, selebriti dan influencer hidup dalam dunia yang sangat berbeda. Mereka bukan pelayan publik, melainkan bagian dari industri hiburan yang memang ditandai oleh gemerlap dan kemewahan. Kekayaan mereka dilihat sebagai hasil dari kerja keras dan keberuntungan di dunia yang mengagungkan popularitas dan citra. Masyarakat, terutama generasi muda, melihat mereka sebagai figur aspiratif, simbol keberhasilan yang bisa diraih dengan kerja keras di era digital. Dalam banyak kasus, kekayaan selebriti justru dipandang sebagai prestasi yang patut diacungi jempol, bukan sebagai hasil dari penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan.

Pengaruh Media Sosial: Membentuk Persepsi Publik

Era media sosial telah mengaburkan batas antara kehidupan pribadi dan publik, dan ini berlaku bagi kedua kelompok, baik pejabat negara maupun selebriti. Dalam banyak kasus, unggahan yang memamerkan kekayaan oleh pejabat negara atau keluarganya telah memicu kegaduhan di media sosial, yang dengan cepat menyebar dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat.

Kasus anak pejabat pajak yang viral setelah pamer motor gede dan barang mewah di Instagram menunjukkan bagaimana media sosial dapat menjadi alat yang memperkuat kecurigaan publik. Unggahan-unggahan tersebut memicu kemarahan publik karena dianggap tidak pantas, terutama ketika dilihat dari posisi keluarganya sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan yang seharusnya melayani masyarakat.

Di sisi lain, media sosial juga telah menjadi alat yang sangat efektif bagi selebriti dan influencer untuk membangun citra dan memamerkan kemewahan mereka. Dalam dunia influencer, pamer kekayaan justru menjadi bagian dari strategi untuk menarik perhatian dan membangun pengaruh. Rachel Vennya, misalnya, kerap memamerkan barang-barang bermerek dan gaya hidup mewah sebagai bagian dari citra digitalnya. Unggahan-unggahannya ini tidak hanya mengundang kekaguman, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai salah satu influencer teratas di Indonesia.

Dimensi Psikologis dan Ekonomi dalam Persepsi Publik

Reaksi masyarakat terhadap pejabat negara yang pamer kekayaan tidak hanya dipengaruhi oleh peran mereka sebagai pelayan publik, tetapi juga oleh faktor ketimpangan ekonomi yang semakin lebar di Indonesia. Menurut laporan Oxfam, Indonesia adalah salah satu negara dengan ketimpangan ekonomi tertinggi di dunia. Ketika pejabat publik, yang diharapkan menjaga keadilan dan kesejahteraan sosial, terlihat hidup dalam kemewahan, ketimpangan ini menjadi semakin mencolok dan memicu ketidakpuasan.

Bagi masyarakat kelas bawah dan menengah, kekayaan pejabat yang dipamerkan di media sosial sering kali menjadi pengingat betapa jauhnya mereka dari kemakmuran yang diidamkan. Ini berbeda dengan selebriti, yang kekayaannya lebih mudah diterima karena dianggap sebagai hasil dari usaha pribadi dan bukan hasil dari penyalahgunaan kekuasaan.

Dua Dunia, Dua Standar

Pada akhirnya, pamer kekayaan oleh pejabat negara dan selebriti akan selalu dilihat melalui lensa yang berbeda. Pejabat negara, yang terikat oleh tanggung jawab moral dan kepercayaan publik, akan selalu berada di bawah sorotan tajam ketika memamerkan kekayaan mereka. Publik menuntut integritas, transparansi, dan kesederhanaan dari mereka yang diberi amanat untuk melayani. Sebaliknya, selebriti dan influencer hidup dalam dunia yang memuja kemewahan dan citra, di mana kekayaan adalah bagian dari identitas mereka.

Dalam era digital yang semakin terbuka, kedua kelompok ini harus lebih berhati-hati dalam memamerkan kekayaan mereka. Pejabat negara harus lebih bijak dalam menjaga citra publiknya, sementara selebriti dan influencer, meskipun lebih leluasa dalam memamerkan kekayaan, tetap harus menjaga sensitivitas sosial agar tidak terjebak dalam kontroversi yang dapat merusak reputasi mereka di mata masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun