Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Layar Ponsel, Jendela Dunia Baru, atau Lubang Hitam yang Menelan Waktu?

23 September 2024   09:47 Diperbarui: 23 September 2024   18:04 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bisa tegas saat anak laki-laki saya merengek minta diajari naik motor saat di usianya menginjak 10 tahun. Tapi, entah kenapa, soal HP, saya jadi orang tua yang tak sekeras itu. Di rumah kami, ada wifi yang langsung menyambung ke PC di ruang keluarga. Ruangan ini saya jadikan tempat anak belajar, menonton YouTube, membaca, atau sekadar menikmati serial di Netflix. 

Ada juga tablet yang penggunaannya ketat kami batasi. Namun, baru-baru ini, saat usianya menginjak 12 tahun, saya dan pasangan memutuskan untuk memberinya HP pribadi. Alasan utamanya adalah kebutuhan sekolah, terutama dengan kurikulum Merdeka yang menuntut penggunaan teknologi. Walau begitu, kami tetap memberinya batasan ketat.

Di sisi lain, anak saya sering merayu, kali ini soal sepeda listrik. Dengan nada setengah bercanda, ia minta dibelikan. Saya tersenyum, mengerti, karena sering kami berbicara soal ini. Tentang bagaimana sepeda motor, atau sepeda listrik, belum benar-benar jelas aturannya. Tapi tak jarang juga saya merasa berat saat mengingat di lingkungan kami, hanya anak saya yang belum menyentuh mesin roda dua.

Banyak orang tua di kompleks kami yang akhirnya menyerah pada tuntutan efisiensi. Jarak ke sekolah sekitar 2 kilometer, dan sepertinya mayoritas orang tua berpikir sama: daripada anak kelelahan, lebih baik diberi motor atau sepeda listrik. Saya tak menyalahkan mereka. Setiap orang tua punya pertimbangan masing-masing.

Telepon Genggam dan Dunia Baru

Di tengah diskusi soal sepeda listrik, HP datang menyusup pelan-pelan, seperti hantu yang tak terlihat tapi terasa hadir. Era digital ini sudah memasuki hampir semua sudut kehidupan, membawa kita ke dunia baru yang serba cepat dan penuh distraksi. Telepon genggam adalah pintu gerbang ke dunia itu---dunia yang membuat anak-anak kita melayang-layang di antara apa yang nyata dan maya.

Sebenarnya, apakah ada waktu yang benar-benar tepat untuk memberikan anak HP? Mungkin jawaban saya terkesan pragmatis: "karena kebutuhan sekolah." Tetapi jauh di dalam hati, saya masih bertanya-tanya, apakah ini benar-benar untuk mereka atau sekadar memudahkan saya sebagai orang tua? Memberikan HP sama dengan membuka pintu untuk pengaruh yang tak selalu bisa saya kendalikan.

Pikiran saya terbang pada buku karya Jonathan Haidt, The Anxious Generation, yang banyak membahas bagaimana HP, terutama media sosial, berdampak besar pada kesehatan mental anak-anak. Menurutnya, lonjakan masalah kesehatan mental remaja, terutama pada anak perempuan, berkorelasi dengan penggunaan media sosial. Ia menyerukan aksi kolektif untuk menanggulangi masalah ini.

Tapi, kritik terhadap Haidt juga mengemuka. Banyak yang berpendapat bahwa Haidt terlalu menyederhanakan masalah. Namun demikian, wacana tentang dampak media sosial ini telah sampai ke telinga banyak pembuat kebijakan. Bahkan, pemerintah Australia sedang mempertimbangkan untuk menaikkan batas usia minimal penggunaan media sosial dari 13 tahun menjadi 16 tahun. Di Inggris, beberapa akademi telah melarang penggunaan HP di sekolah mereka selama jam belajar dan istirahat. Inisiatif ini dipicu oleh kekhawatiran akan meningkatnya masalah kesehatan mental pada anak-anak.

Teknologi dan Batasan

Namun, apakah larangan semacam itu benar-benar solusi terbaik? Tidak mudah menjawabnya. Di satu sisi, teknologi tak bisa dihindari. Dunia sudah terhubung secara digital, dan anak-anak kita akan semakin sering terlibat dalam ruang-ruang maya ini. Menentang teknologi rasanya seperti bertarung dengan bayangan sendiri. Akan tetapi, kita juga tak bisa menutup mata terhadap dampak negatif yang mungkin muncul. Setiap hari, kasus anak-anak yang terjebak dalam kekerasan daring, perundungan siber, atau ketergantungan pada media sosial menghiasi berita.

Di sini, tugas orang tua dan pendidik menjadi krusial. Bukan soal melarang secara total, melainkan bagaimana mendampingi anak untuk menggunakan teknologi dengan bijak. Sama halnya dengan mengajari anak makan makanan sehat, kita juga perlu membimbing mereka mengembangkan kebiasaan digital yang sehat. Misalnya, menetapkan waktu "bebas perangkat" selama beberapa jam setiap harinya, atau memilih konten yang sesuai dengan usia mereka.

Kita harus bijaksana dalam mengambil sikap. Melarang anak menggunakan HP mungkin terkesan seperti jalan pintas yang mudah, namun masalah sebenarnya lebih kompleks. Dunia maya, dengan segala ancaman dan manfaatnya, akan tetap ada. Larangan total hanya akan membuat anak semakin penasaran, sementara keterbukaan yang disertai dengan aturan akan memberikan mereka ruang untuk belajar dan beradaptasi.

Dampak pada Kehidupan Sosial Anak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun