Di luar sedang gerimis.
Di dalam rumah kami yang hangat setelah maghrib, suara napas terengah Verro saat menghitung push-up terdengar bergema. Anak saya yang berusia 12 tahun, dengan keringat membasahi dahinya, mengingatkan saya pada apa yang sebenarnya berarti "bonding" antara ayah dan anak. Ini bukan soal seberapa lama kita bersama, tapi bagaimana kita hadir, mendukung, dan mendengarkan.
Verro berjongkok, mengambil napas dalam, lalu bangkit kembali. “Lima lagi, Yah,” ucapnya dengan suara tertahan, tapi penuh tekad. Dalam keheningan yang hanya diisi deru napas kami berdua, saya menyadari bahwa ikatan kami terjalin bukan dalam satu waktu besar, tapi dalam momen-momen kecil seperti ini. Setiap tetes keringatnya bercerita tentang mimpi besar, mimpi yang tak pernah ia katakan terang-terangan, tetapi yang tampak dari mata yang menyala setiap kali ia berbicara tentang masa depannya.
Tahun ini, saya memutuskan untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam hidup Verro. Kami memulai rutinitas sederhana—latihan fisik bersama setiap malam, dari push-up, sit-up, hingga memukul sansak yang sudah mulai aus. Awalnya, hanya bentuk latihan biasa. Namun, seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa sesi-sesi ini memberi lebih dari sekadar kekuatan fisik. Latihan ini menciptakan ruang bagi kami untuk benar-benar terhubung.
Verro tidak hanya berlatih untuk tubuhnya. Di balik otot yang tumbuh perlahan itu, ada mimpi yang lebih besar: menjadi anggota Brimob suatu hari nanti. Sebagai ayah, saya melihat peran saya bukan hanya mengantarnya ke tempat les matematika, bahasa Inggris, atau berenang, tetapi juga mengantar dia ke masa depan yang ia cita-citakan. Rutinitas sederhana itu ternyata membawa kami lebih dekat, lebih dari yang pernah saya bayangkan.
Namun, waktu berkualitas dengan anak tidak selalu datang dalam bentuk yang mudah ditebak. Banyak orang tua berbicara tentang "waktu berkualitas", tapi realitasnya, waktu berkualitas sering kali muncul dalam momen-momen kecil yang tak terduga. Seperti saat Verro duduk di boncengan motor, tangan mungilnya yang mulai tumbuh kekar memeluk pinggang saya erat-erat, sementara kami melaju ke tempat les fisik. Percakapan kami biasanya sederhana—tentang ulangan, teman sekelas, atau guru yang ia sukai. Tapi di antara obrolan ringan itu, kadang-kadang ia membuka diri, menceritakan hal-hal yang lebih dalam. Tentang pencalonannya sebagai Wakil Ketua OSIS, misalnya.
Hari itu, di perjalanan menuju tempat les, Verro bercerita dengan semangat menggebu-gebu. "Aku mau mencalonkan diri, Yah," katanya. "Aku ingin jadi Wakil Ketua OSIS!" Saya menoleh sekilas, menangkap kilatan antusiasme di matanya. Di situ, saya tahu bahwa ini bukan hanya tentang organisasi sekolah; ini tentang kepercayaan diri, tentang mimpi yang ia simpan di dalam hatinya.
Istri saya, yang mendengar cerita ini, segera turun tangan membantu. Ia menciptakan poster kampanye yang penuh warna, mengedit video visi-misi Verro dengan tangan yang cekatan, dan memastikan setiap detail kampanye anak kami sempurna. Kami menjadi tim yang solid—ayah, ibu, dan anak bersatu untuk satu tujuan, satu impian yang kita jalani bersama. Dalam proses itu, saya melihat bagaimana ikatan keluarga kami semakin erat. Kami bukan hanya keluarga, tapi tim yang saling mendukung tanpa syarat.
Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Ada tantangan yang tak terduga, seperti ketika Verro terpilih mewakili sekolah dalam lomba Cryptarithm dan Creapeline. Sebuah tantangan baru menanti di depan mata. Tanggal 16 Oktober sudah semakin dekat, dan saya mulai berpikir bagaimana bisa membantu Verro mempersiapkan diri untuk menonjol di antara para peserta lainnya. Kami berbagi strategi belajar, merancang rencana yang bisa membantu Verro menguasai setiap konsep dan menumbuhkan rasa percaya diri. Di sini, sekali lagi, ikatan kami bukan hanya tentang fisik atau pendidikan formal, tetapi tentang cara kami menghadapi tantangan bersama.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari keajaiban dalam setiap percakapan kecil yang kami miliki. Ketika Verro sedang memukul sansak atau saat kami beristirahat setelah sesi latihan, ia sering bercerita tentang apa yang ada di pikirannya—kekhawatirannya, mimpinya, bahkan kadang-kadang ketakutannya. Saya mendengarkan, bukan sebagai sosok yang selalu punya jawaban, tetapi sebagai pendamping yang siap mendukung dan berdiskusi. Momen-momen ini, lebih dari yang lain, membuat saya merasa bahwa saya telah hadir dalam hidupnya, benar-benar hadir.
Menjadi orang tua, saya pelajari, bukan tentang selalu tahu apa yang terbaik. Ini bukan soal selalu memiliki solusi yang sempurna. Sering kali, menjadi orang tua berarti mendengarkan, mendampingi, dan bersama-sama menghadapi setiap perjuangan yang anak kita hadapi. Verro, dengan mimpinya yang besar untuk menjadi anggota Brimob dan ambisinya menjadi Wakil Ketua OSIS, mengajarkan saya satu hal yang sangat penting: bahwa bonding bukan tentang waktu yang terstruktur atau aktivitas yang diatur dengan ketat. Ini tentang kehadiran yang konsisten, emosional, dan penuh kasih di setiap langkah hidupnya.