Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buku dan Revolusi Kognitif

20 September 2024   10:29 Diperbarui: 20 September 2024   10:40 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixnio.com

"Kita membaca untuk tahu bahwa kita tidak sendirian," begitu kata William Nicholson.

Bayangkan, Anda sedang duduk dengan segelas teh hangat, membuka halaman pertama buku yang baru saja dibeli. Dalam hitungan menit, Anda sudah tenggelam dalam narasi yang memukau, seakan terhisap ke dalam dimensi lain. Buku itu berbicara. Menohok, memaksa Anda memikirkan kembali hal-hal yang selama ini dianggap remeh.

Membaca buku sebenarnya adalah salah satu kegiatan paling revolusioner yang bisa dilakukan manusia. Ini bukan sekadar tentang mengisi waktu luang atau mencari hiburan. Membaca adalah tindakan mengubah otak---membentuk ulang pola pikir, membangkitkan empati, dan memperluas horizon.

Mari kita hadapi kenyataan: sebagian besar dari kita hidup dalam dunia yang semakin memiskinkan kemampuan refleksi. Dalam hiruk-pikuk informasi digital, di mana segala sesuatu berlomba-lomba merebut perhatian, buku hadir sebagai oase bagi mereka yang masih menghargai kedalaman pikiran.

Buku bukan hanya tentang cerita, tapi juga tentang bagaimana cerita itu memengaruhi perkembangan otak kita. Menurut riset di Stanford University, membaca sastra yang kompleks dapat mengaktifkan berbagai fungsi kognitif otak kita secara simultan.

Sebaliknya, membaca yang ringan dan menyenangkan meningkatkan aliran darah ke bagian-bagian otak yang berbeda, menciptakan efek relaksasi. Artinya, ketika kita membaca dengan saksama, kita sedang melatih otak kita untuk menjadi lebih cerdas, lebih reflektif, dan lebih empati.

Memunculkan Imajinasi yang Tak Terduga

Bayangkan, ketika Anda membaca sebuah novel tebal tentang sebuah desa yang dipenuhi dengan misteri dan teka-teki, otak Anda secara otomatis membayangkan adegan-adegan itu. 

Kita memang tidak menyadarinya, tetapi otak kita bekerja keras untuk menciptakan gambar mental tanpa perlu diminta. Dalam sebuah studi yang dipublikasikan di Psychological Science, para peneliti menemukan bahwa visualisasi mental ini otomatis terjadi ketika kita membaca deskripsi visual dalam teks. 

Tak hanya itu, otak kita pun terlibat dalam proses emosi; ketika seorang karakter menangis dalam buku, kita merasakan kesedihan yang sama. Inilah yang disebut efek transportation, sebuah fenomena di mana kita secara emosional dan mental terbawa ke dalam dunia yang diciptakan oleh teks.

Buku Mengubah Empati: Menjadi Lebih Manusiawi

"Buku membuat kita lebih manusiawi." Kedengarannya klise, bukan? Tapi ini benar adanya. Penelitian dari Emory University menunjukkan bahwa membaca novel secara mendalam bisa meningkatkan kapasitas empati seseorang. 

Bagaimana caranya? Ketika kita membaca tentang perjuangan karakter yang menghadapi dilema moral atau tantangan besar, otak kita tidak hanya memproses informasi tersebut, tetapi juga merasakan emosi yang sama. 

Hal ini tidak hanya membuat kita lebih memahami sudut pandang orang lain, tetapi juga meningkatkan sensitivitas emosional kita dalam kehidupan nyata.

Mari kita ambil contoh dari dunia sastra klasik. Dalam novel To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, pembaca dibawa pada sebuah perjalanan moral tentang keadilan sosial dan rasisme. 

Pembaca merasakan keputusasaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh para karakter. Ketika kita selesai membaca, sesuatu dalam diri kita berubah. 

Sudut pandang kita tentang dunia sudah tidak sama lagi. Kita lebih waspada terhadap ketidakadilan di sekitar kita, dan---sebagai manusia yang lebih empati---kita merasa terdorong untuk melakukan perubahan.

Apakah Kita Bisa Beradaptasi dengan E-Book?

Seiring berjalannya waktu, banyak orang beralih ke e-book karena kenyamanannya. Tapi, apakah kita benar-benar mendapatkan pengalaman membaca yang sama? 

Menurut riset dari Lund University di Swedia, otak kita memang bisa beradaptasi dengan cepat dalam membaca melalui e-book. Namun, ada satu kelemahan besar: e-book sering kali gagal memberikan "navigasi spasial" yang sama seperti buku cetak. 

Dengan buku fisik, kita bisa merasakan beratnya halaman yang belum dibaca, memberi kita perasaan kemajuan yang nyata. Tanpa itu, otak kita cenderung merasa tersesat di dalam teks, kehilangan kemampuan untuk mengingat posisi fisik dari informasi yang kita baca. 

Ini bukan sekadar masalah preferensi, melainkan tentang bagaimana otak kita telah berevolusi untuk memproses informasi.

Membaca Adalah VR yang Sebenarnya

Seberapa sering kita mendengar orang berbicara tentang virtual reality (VR) sebagai masa depan hiburan? 

Membaca adalah VR pertama yang pernah ada, dan itu jauh lebih canggih. Otak kita tidak dapat membedakan antara membaca pengalaman dan benar-benar mengalami sesuatu. 

Dalam studi lain, para peneliti menemukan bahwa ketika kita membaca tentang pengalaman yang intens secara emosional, bagian-bagian otak yang sama dengan saat kita benar-benar mengalami hal tersebut aktif. 

Inilah mengapa ketika kita menyelami novel yang bagus, kita sering kali merasa seolah-olah kita adalah bagian dari cerita tersebut. Bagi otak kita, cerita yang kita baca sama nyatanya dengan hidup yang kita jalani.

Membaca Buku adalah Revolusi Sunyi

Membaca bukan hanya tentang menambah informasi, tetapi tentang menjadi manusia yang lebih baik. Dalam dunia yang semakin mekanistik ini, kita kehilangan sentuhan dengan kemanusiaan kita yang terdalam. 

Buku-buku adalah alat yang kita butuhkan untuk mengubah pola pikir, membangkitkan empati, dan menemukan kembali diri kita. Bukankah itu revolusi yang sebenarnya? 

Dalam era yang penuh dengan TikTok dan Instagram Reels, mungkin tindakan paling radikal yang bisa kita lakukan adalah menenggelamkan diri kita dalam sebuah buku dan memberi otak kita kesempatan untuk benar-benar berpikir.

Maka, di tengah kekacauan dunia digital, buku tetap menjadi benteng terakhir bagi kemerdekaan intelektual kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun