Venue-venue mewah yang dibangun hanya untuk acara ini seringkali dibiarkan mangkrak setelah perhelatan berakhir. Kasus seperti yang terjadi di Papua dan Kalimantan Timur adalah contohnya---tempat-tempat yang menjadi candi modern, sunyi dan terbengkalai.
Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang hiperrealitas, menggambarkan bagaimana realitas dapat dikaburkan oleh citra yang dibentuk media.Â
PON telah menjadi semacam hiperrealitas, di mana kesuksesan acara dinilai dari jumlah medali dan kemeriahan seremoni, sementara realitas sesungguhnya---kemerosotan sportivitas dan kegagalan pembinaan atlet---dilupakan.
Harapan untuk PON dan Olahraga Nasional
Tidak ada yang salah dengan semangat PON sebagai ajang pemersatu bangsa, namun kita perlu bertanya apakah masih relevan dengan kondisi saat ini.Â
Jika tujuan PON adalah untuk menciptakan bibit atlet potensial, maka reformasi besar-besaran dibutuhkan. Kejuaraan daerah dan nasional yang teratur, yang fokus pada kelompok umur, mungkin lebih efektif dalam mempersiapkan atlet muda kita.Â
PON, dalam bentuknya saat ini, tidak lagi memenuhi tujuan tersebut.
Sebaliknya, kita perlu menciptakan sistem olahraga yang berkelanjutan, di mana pembinaan dan sportivitas kembali menjadi fokus utama.Â
Hanya dengan demikian kita bisa berharap untuk melihat atlet Indonesia bersaing secara adil di kancah internasional, dan PON bisa kembali menjadi simbol kebanggaan nasional---bukan hanya sebuah rutinitas yang kian kehilangan maknanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H