Ketika kita berbicara tentang cinta Nabi Muhammad SAW kepada umatnya, kita berbicara tentang cinta yang penuh pengorbanan.
Dalam riwayat hidupnya, Nabi sering kali menempatkan kepentingan umat di atas dirinya sendiri. Sejak awal dakwahnya hingga akhir hayatnya, beliau terus berjuang untuk menyelamatkan umatnya dari kehancuran spiritual.
Ketika umat Islam berperang melawan kaum Quraisy dalam perang Uhud, Rasulullah terluka parah. Darah beliau mengalir, namun yang keluar dari mulutnya bukan keluhan, melainkan doa.Â
"Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu." Bahkan dalam penderitaan, cinta beliau kepada umatnya tak pernah pudar.
Apa yang bisa kita pelajari dari cinta tanpa syarat ini? Apakah kita bisa menerapkan prinsip pengorbanan dalam kehidupan kita? Di dunia yang kian individualis, cinta yang Nabi ajarkan terasa begitu relevan.Â
Mungkin, kita bisa mulai dengan hal-hal sederhana: membantu tetangga yang kesusahan, memaafkan orang lain, atau berbagi rezeki dengan mereka yang membutuhkan.
Apakah Kita Merindukan Nabi?
Setiap kali Maulid Nabi datang, kita merayakan kelahiran seorang pemimpin yang cinta dan kasih sayangnya telah mengubah sejarah.
Tapi lebih dari sekadar perayaan, ini adalah momen untuk bertanya: Apakah kita juga merindukan beliau sebagaimana beliau merindukan kita?
Kerinduan kita kepada Nabi Muhammad SAW seharusnya tidak hanya sebatas kata-kata. Ini adalah perasaan yang mendalam, yang memotivasi kita untuk mengikuti jejak beliau.Â
Ketika kita memikirkan betapa besar cintanya kepada kita, sudah sepatutnya kita juga merindukan beliau dengan segenap hati, jiwa, dan tindakan kita.
Menjadi Bagian dari Umat yang Dirindukan
Sebagai penutup, pertanyaan yang perlu terus kita tanyakan adalah: Apakah kita benar-benar menjadi umat yang dirindukan Nabi?