Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sumber Kerusakan Mental Anak: Mengapa Sistem Pendidikan Gagal Mengembangkan Potensi?

26 September 2014   04:59 Diperbarui: 10 September 2024   09:28 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14116570351064850691

“Semua bayi dilahirkan cerdas; 9.999 dari setiap 10.000 bayi itu dengan begitu cepat, dan sembrono dijadikan tidak cerdas lagi oleh orang-orang dewasa.” (Bucminster Fuller)

Kerusakan mental pada anak-anak kita kerap kali berakar pada kegagalan pendidikan dalam membawa perubahan positif. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan untuk mengembangkan potensi anak kini semakin terdistorsi, terjebak dalam pola-pola yang tak lagi relevan. Di tengah arus globalisasi dan tekanan akademis, anak-anak kehilangan esensi dari proses belajar. Dalam esai ini, saya akan mengupas bagaimana sistem pendidikan kita telah menciptakan ketidakjelasan tujuan, memicu perilaku tidak jujur, serta membungkam potensi alami anak-anak yang seharusnya dikembangkan.

Pendidikan yang Kehilangan Arah dan Makna

Sistem pendidikan saat ini lebih menitikberatkan pada pencapaian nilai akademis yang semu, tanpa memperhatikan esensi pendidikan yang sebenarnya: mengembangkan karakter dan potensi alami. Ujian Nasional, sebagai contoh, telah berubah menjadi ajang yang penuh manipulasi, di mana kecurangan menjadi hal yang lumrah. Siswa mencontek, bahkan dengan bantuan guru, demi mempertahankan reputasi sekolah dan menyenangkan orang tua. Semua pihak, mulai dari guru hingga orang tua, terjebak dalam obsesi terhadap angka dan peringkat, melupakan tujuan utama pendidikan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan kita telah kehilangan arah. Pendidikan bukan lagi alat untuk mengubah anak menjadi individu yang berpikir kritis dan mandiri. Sebaliknya, ia menjadi mesin pencetak angka, mengabaikan kebutuhan individual anak. Anak-anak diajarkan untuk mengejar nilai, bukan ilmu pengetahuan, sehingga mereka kehilangan kepekaan dan kreativitas yang seharusnya dibangun melalui proses pendidikan.

Hilangnya Potensi Karena Salah Asuh

Banyak anak yang memiliki potensi besar—baik dalam seni, sains, atau kemampuan lainnya—terabaikan karena fokus yang terlalu besar pada prestasi akademis. Orang tua dan guru lebih sering menilai anak berdasarkan pencapaian dalam mata pelajaran seperti matematika dan fisika, tanpa memperhatikan bakat alami yang dimiliki anak-anak tersebut. Hal ini memperlihatkan betapa sempitnya definisi kesuksesan yang ditanamkan oleh sistem pendidikan kita.

Ketika anak tidak berhasil mencapai standar akademis yang tinggi, mereka diberi label negatif, yang sering kali merusak rasa percaya diri mereka. Banyak anak-anak jenius akhirnya tersisih hanya karena sistem gagal melihat potensi di luar angka-angka di atas kertas. Anak-anak ini bukanlah bodoh, tetapi cara kita mendidik mereka yang belum tepat. Sebagaimana dikatakan Albert Einstein, "Imajinasi lebih penting daripada ilmu pengetahuan." Namun, imajinasi dan kreativitas anak kerap kali dihancurkan oleh ekspektasi akademis yang sempit.


Dampak Globalisasi yang Menenggelamkan Kritik

Globalisasi telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Namun, arus globalisasi juga menenggelamkan banyak kritik yang diajukan terhadap sistem pendidikan kita. Meskipun banyak suara yang menuntut perubahan, mereka sering kali diabaikan atau dibungkam. Para pendidik yang mencoba menerapkan pendekatan baru atau lebih personal untuk mendidik anak sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap sistem yang ada.

Akibatnya, anak-anak terus terperangkap dalam sistem yang tidak memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka secara maksimal. Mereka dipaksa untuk bersaing dalam sistem yang hanya menghargai pencapaian akademis, bukan kreativitas, empati, atau kemampuan berpikir kritis. Sistem ini merampas kebebasan anak untuk belajar dan tumbuh sesuai dengan keunikan mereka masing-masing.

Kembali ke Hakikat Pendidikan

Untuk mengatasi masalah ini, kita harus kembali pada hakikat pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan tidak hanya tentang mengajarkan pengetahuan akademis, tetapi juga tentang mengembangkan potensi manusia secara keseluruhan. Setiap anak memiliki keunikan dan potensi yang berbeda, dan tugas kita sebagai pendidik dan orang tua adalah untuk menemukan dan mengasah potensi tersebut.

Ketika anak-anak tidak berhasil dalam ujian matematika atau fisika, bukan berarti mereka gagal sebagai individu. Kita harus menggali lebih dalam untuk memahami kekuatan alami mereka, mendidik mereka sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Hanya dengan cara ini, kita bisa membantu mereka menjadi individu yang mandiri dan berguna bagi diri mereka sendiri, masyarakat, dan lingkungan mereka.

Kesabaran dan Penantian

Pendidikan bukanlah proses instan yang bisa dilihat hasilnya dalam waktu singkat. Butuh kesabaran dan waktu untuk melihat hasil nyata dari proses mendidik. Baik orang tua maupun guru harus menyadari bahwa mereka bukan hanya pengajar, tetapi juga pelayan yang dengan sabar menunggu hasil dari apa yang mereka tanamkan dalam diri anak-anak. Proses ini tidak bisa dipaksakan atau dipercepat dengan nilai ujian atau peringkat.

Dalam jangka panjang, hasil dari pendidikan yang sabar dan penuh pengertian akan terlihat. Anak-anak akan tumbuh menjadi individu yang mampu mencapai cita-cita mereka, bukan karena mereka mengikuti sistem yang ada, tetapi karena mereka menemukan diri mereka sendiri melalui proses pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi mereka.

Kesimpulan

Kerusakan mental yang dialami oleh banyak anak hari ini adalah akibat dari sistem pendidikan yang tidak lagi berfokus pada pengembangan potensi individual. Sistem ini lebih mementingkan pencapaian akademis yang semu, mengabaikan keunikan dan kreativitas anak. Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu kembali pada esensi pendidikan yang sebenarnya: menggali, mendidik, dan mengembangkan potensi anak-anak kita. Hanya dengan cara ini, kita dapat membentuk generasi yang mandiri, kreatif, dan mampu berkontribusi secara positif bagi masyarakat. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang membutuhkan kesabaran dan pemahaman, bukan sekadar angka di atas kertas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun