Popularitas Jokowi setelah "promosi" dari Walikota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta yang semakin kinclong membuat banyak kalangan menggadang-gadang sosok merakyat ini untuk menapaki "promosi" ke jenjang berikutnya, menggantikan SBY sebagai Presiden Republik Indonesia melalui pesta demokrasi lima tahunan bertajuk pemilu yang akan digelar tahun 2014 yang akan datang.
Wacana yang sepertinya dipicu dari sejumlah survey yang dilakukan berbagai lembaga yang (mengaku) independen dimana nama Jokowi selalu berada di puncak. Bukan hanya itu, biasanya jarak perolehan suara Jokowi sebagai pemuncak dengan tokoh yang berada di bawahnya juga sangat jauh. Gelombang berikutnya tokoh-tokoh partai politik mulai angkat suara secara terbuka. Sebagian menyatakan minat untuk mengusungnya sebagian lagi berusaha mengganjal popularitas sang bintang dengan berbagai cara. Tentulah jika yang bersuara terang-terangan sebanyak itu, yang "gelap-gelapan" lebih banyak lagi.
Tidak heran jika meskipun selalu berkelit, sepertinya tidak ada hari dimana Jokowi tidak ditanya oleh awak media mengenai hal yang satu ini, kesiapannya menjadi calon presiden. Tentu keuletan awak media mengorek tidak bisa disalahkan. Selain memang dari situ mereka makan dan mengidupi keluarganya, Jokowi juga menunjukkan sikap yang sama ketika beliau masih menjabat Walikota Solo dan mulai santer diberitakan akan bertarung di Pilkada DKI.
Yang mengherankan bagi saya adalah sang wakil, Ahok, yang tidak kalah gencar diberondong bertanyaan megenaik kesiapannya menggantikan Jokowi menjadi Gubernur DKI jika kemudian ternyata Jokowi benar-benar terpilih menjadi Presiden RI. Jawaban Ahok yang selalu serampangan tidak membuat awak media mundur, malah semakin bersemangat mengejar.
Ketika KPK menciduk "wakil Tuhan" yang paling tinggi kedudukannya di seantero negeri, Hakim MK Akil Mochtar, karena tertangkap tangan menerima suap, hal yang sama berulang kembali. Adalah Gubernur Banten, Ratu Atut yang ditenggarai menjadi penyandang dana atas salah satu kasus suap yang ditujukan kepada sang hakim. Entah benar atau tidak ... tetapi jika benar tentu Ratu Atut akan kehilangan jabatannya untuk menyusul sejumlah pejabat tinggi lain yang dijebloskan KPK ke dalam penjara.
Kali ini mantan artis Rano Karno yang kebetulan merupakan Wakil Gubernur Propinsi Banten yang mulai dikejar-kejar tentang kesiapannya menggantikan Ratu Atut seandainya sang ratu kemudian dinyatakan bersalah.
Dari kedua kasus ini keheranan saya semakin menumpuk khususnya mengenai pengetahuan awak media mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pusaran berita yang mereka angkat. Mana ada seorang Wakil Gubernur yang tidak siap untuk menggantikan atasannya, kan memang itu esensi seorang wakil. Bahkan ketika mereka mencalonkan diri menjadi gubernur tentu mereka sudah siap untuk menggantikan gubernurnya sendainya terjadi hal-hal luar biasa yang membuat sang gubernur tidak bisa lagi melanjutkan jabatannya. Justru melanggar hukum kalau mereka berhadapan dengan situasi demikian kemudian tiba-tiba menolak dengan alasan tidak sanggup.
Tolonglah ajari rakyat ini dengan pendidikan politik yang baik dan benar. Jurnalis, awak media, kan tentunya termasuk golongan terpelajar. Dengan mereka "ribut-ribut" memberitakan sesuatu yang sebetulnya tidak layak diributkan, kan kasian masyarakat yang kemudian jadi ikut-ikutan ribut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H