Minggu, (4/8), lalu menjadi salah satu hari yang cukup mengagetkan bagi masyarakat Indonesia. Terkhusus warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), Jawa Barat, dan Banten. Kita semua tahu, biang keroknya adalah pemadaman listrik secara massal di daerah-daerah apes tersebut.
Penyebab mati listrik massal tersebut masih dikaji oleh para berwenang, dan bukan urusan saya.
Tapi, dari kejadian di akhir pekan kemarin tersebut saya justru menemukan hal yang menarik setelah tagar #matilampu sempat menjadi trending topic dunia di Twitter pada hari yang sama. Sampai sini, tidak ada yang mengherankan.
Kejadian yang sangat menggegerkan tersebut memang layak diperbincangkan hingga menjadi trending topic dunia. Terlebih, mengingat jumlah penduduk Jabodetabek, Jawa Barat, dan Banten merupakan yang terpadat di Indonesia.
Jadi, tidak ada yang mengherankan dari tagar #matilampu yang mendunia. Toh, netizen kita memang rajin membicarakan hal yang remeh-temeh. Sebut saja tagar #uninstalljokowi atau #tangkapprabowo yang juga sempat mendunia ketika demam Pilpres melanda beberapa waktu belakangan.
Yang menarik dari mendunianya tagar #matilampu adalah penggunaan istilah "mati lampu" itu sendiri. Saya pribadi cukup alergi mendengar pilihan kalimat "mati lampu" ketika terjadi suatu pemadaman listrik. Tidak hanya pada tagar, tapi orang-orang terdekat saya pun banyak yang menggunakan istilah "mati lampu".
Alasannya sederhana saja. Yang mati kan bukan hanya lampu. Kulkas, setrika listrik, televisi, radio, pendingin udara, dan alat elektronik lainnya juga turut mati, bukan? Kenapa hanya "lampu" yang menjadi kambing-hitam?
Istilah "mati lampu" seharusnya ditujukan jika hanya lampu saja yang mati atau padam. Sementara, pemadaman listrik, seperti yang terjadi kemarin, imbasnya bukan hanya lampu, tapi lebih luas lagi.
Alih-alih menggunakan istilah "mati listrik", atau "pemadaman listrik" yang lebih relevan, masyarakat kita tetap memilih dan mempertahankan "mati lampu". Bahkan istilah tersebut hingga mencapai seluruh penjuru dunia.
Lucunya, tagar #matilistrik berada di urutan kedua trending topic dunia. Posisi ini tentu di bawah tagar #matilampu. CNN Indonesia mencatat, setidaknya tagar #matilampu dicuitkan sebanyak 18.900 kali di Twitter. Artinya, orang yang menggunakan istilah "mati lampu" lebih banyak ketimbang yang menggunakan istilah "mati listrik".
Artinya, mayoritas masyarakat Indonesia masih banyak yang salah kaprah dalam penggunaan istilah pemadaman listrik. Lebih lucu lagi ketika banyak media massa yang seharusnya menjadi sumber edukasi masyarakat, juga menggunakan istilah "mati lampu" pada beritanya.
Saya bukan ahli bahasa seperti Ivan Lanin, atau akun polisi-polisian bahasa yang banyak beredar di jagat maya belakangan. Saya hanya alergi saja dengan pemilihan istilah "mati lampu" ketimbang "mati listrik". Itu saja.
"Terserah kita, dong! Mau pakai istilah apapun. Toh, banyak orang yang sepakat dan tidak protes. Lalu apa urgensinya soal pemilihan istilah 'mati lampu' dan 'mati listrik'?"
Tidak. Tidak ada urgensinya. Hanya saja menunjukkan masyarakat kita masih hidup dalam kebebalan yang mengakar, lur~
Jakarta, Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H