Mohon tunggu...
Adia Puja
Adia Puja Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Kriminal

Penikmat teh juga susu. http://daiwisampad.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hati-hati dengan Bahagiamu

26 Juni 2019   15:06 Diperbarui: 26 Juni 2019   16:01 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era serba digital belakangan ini seolah menuntut segala sesuatu harus disampaikan secara cepat. Semuanya seolah menjadi sebuah ajang kompetisi yang harus segera dimenangkan. Terlambat berarti kekalahan.

Tidak percaya? Coba saja berkunjung ke kanal-kanal sosial media yang kalian punya. Di sana tempatnya para masyarakat madani saling lomba untuk melaporkan pelbagai kejadian yang telah atau sedang berlangsung dalam hidupnya.

Setiap orang merasa segala hal harus segera dilaporkan pada massa. Seolah kegiatannya sangat penting dan sangat ditunggu oleh orang kebanyakan.

Kita semua tahu bagaimana fenomena ini pada akhirnya menjelma suatu petaka. Penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, dan konten-konten bajingan lainnya menjamur tidak terkendali. Kita pusing, pemerintah pusing, semua orang pusing, tapi perihal kedurjanaan di media sosial tetap tidak teratasi.

Lantas, apa segala bentuk kebencian menjadi satu-satunya terdakwa dalam kedurjanaan di jagat sosial media? Oh tentu tidak, Ferguso. Perhatian kita luput terhadap "jahatnya" konten-konten bernuansa kebahagiaan yang dibagikan oleh kawan-kawan di sosial media.

Tahan dulu. Jangan terburu-buru mengeluarkan pisuhan.

Bukan berarti kebahagiaan tidak boleh dibagikan. Ya boleh saja, selama tidak ada larangannya. Hanya saja, seringkali kita kehilangan empati ketika berbagi kebahagiaan.

Saya ambil sebuah contoh dari yang baru saya alami.

Belakangan, entah kenapa, banyak sekali perempuan yang tengah hamil di lingkaran pertemanan saya. Termasuk di lini masa sosial media. Maka foto-foto perut buncit dan gambar USG janin menjadi sangat lazim saya temui setiap membuka sosial media.

Awalnya saya tidak peduli dengan kegiatan teman-teman yang membagikan foto kehamilannya. Toh namanya juga sedang berbahagia, ya wajar saja dibagikan. Hingga suatu hari seorang kawan bercerita. Istrinya mengalami depresi oleh banyaknya foto-foto kehamilan yang berseliweran di sosial medianya.

Istrinya selalu menangis setiap melihat kawannya yang membagikan foto USG janin calon bayinya, atau foto dengan pose mengelus perut buncitnya lengkap dengan semringah. Kata kawan saya lagi, tangis istrinya semakin menjadi ketika ada kawannya yang getol membombardir sosial media dengan perkembangan kehamilannya dari jam ke jam.

Apa pasal? Ternyata, kawan saya dan istrinya tersebut telah lama menikah dan belum jua dikaruniai anak. Terdengar klise? Ya mungkin bagi sebagian orang. Tapi bagi mereka yang mengalami, permasalahan tersebut tentu sangat pelik. Dan yang memiliki permasalahan serupa bukan satu-dua jumlahnya.

Saya jadi mafhum dan mewajarkan kegelisahan kawan saya dan istrinya. Bagaimanapun memiliki anak merupakan keinginan hampir banyak pasangan suami-istri. Maka kegundahan itu memuncak ketika melihat konten-konten kebahagiaan orang lain yang tengah mengandung.

Menurut hemat saya, konten kebahagiaan yang dipertontonkan secara berlebihan akan senada dengan pamer. Kita semua tahu, pamer dalam bentuk apapun terasa sangat menyebalkan.

Jangan lupa, di balik kebahagiaan kita mungkin ada orang yang menderita. Hal itu juga juga berlaku bagi lainnya. Bukan hanya perihal kehamilan.

Mungkin saja saat kalian membagikan konten tentang makanan, ada orang yang sangat kelaparan yang dibuat menderita. Mungkin konten seputar pekerjaan akan mengganggu kawan-kawan kalian yang sulit mendapat kerja. Dan sebagainya.

Sekali lagi. Tidak ada larangan untuk berbagi kebahagiaan, tapi cobalah sedikit berempati dan menempatkan diri pada posisi orang lain. Bagikan kebahagiaan seperlunya saja, sebab tidak semua orang membutuhkan kebahagiaan kalian. Bahkan mungkin kebahagiaan kalian juga tidak penting bagi orang lain.

Mungkin sebagian dari kalian yang bermulut setajam taring macan akan dengan mudah berseloroh: kalau tidak mau lihat, tutup akun saja, atau sembunyikan saja konten yang dirasa mengganggu!

Ya, komentar sumbang seperti itu pasti akan terdengar dari para manusia yang telah mematikan kemanusiaannya dan lupa bagaimana cara menghidupkannya kembali. Sungguh tidak aneh.

Jakarta, 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun