Mohon tunggu...
Adia Puja
Adia Puja Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Kriminal

Penikmat teh juga susu. http://daiwisampad.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Penikmat Berita Punya Selera

30 November 2018   14:22 Diperbarui: 2 Desember 2018   21:47 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikmati berita berarti menikmati pula media massa yang menyiarkannya. Menikmati media massa juga butuh selera. Ibarat etalase sebuah toko yang menyediakan pelbagai suguhan sesuai selera mata pembeli.

Mudahnya begini--kita analogikan menggunakan kasus politik yang paling mudah dicerna--jika Anda pendukung Jokowi, maka Anda cenderung mengikuti atau melahap berita dari media condong kepada Jokowi. Begitu pula sebaliknya, jika Anda pendukung Prabowo. Kalaupun Anda mengikuti berita dari media "lawan", Anda akan cenderung menampik berita "positif" yang mereka sajikan. Itu natural dan lumrah. Tenang saja, Anda tidak gila sendirian.

Alhasil, fakta-fakta yang seharusnya diketahui oleh publik secara jujur jadi bias. Pendukung Prabowo tidak memercayai segala berita yang disajikan oleh TV Biru dan groupnya, karena dianggap pro-Jokowi. Pendukung Jokowi tidak percaya pada TV Merah dan kelompoknya karena dianggap condong kepada Prabowo.

Padahal, berita-berita yang disajikan oleh media massa tersebut belum tentu nirfakta. Fakta-fakta yang diberitakan akan kerap dianggap kebohongan, karena publik cenderung hanya ingin disuapi berita yang mereka hendaki. Berita yang menyenangkan mereka.

Gawatnya, hal ini juga berdampak pada media lainnya yang sebetulnya mengambil posisi netral dalam percaturan politik. Misalkan Historia yang khusus membuat artikel mengenai sejarah.

Historia bisa jadi dianggap sebagai kubu petahana karena kerap menulis artikel negatif terkait rezim Orde Baru. Kita semua tahu Orde Baru identik dengan kubu Prabowo Subianto. Padahal yang ditulis oleh Historia adalah fakta adanya, dan bisa dipertanggung jawabkan.

Percuma rasanya berdarah-darah mempertahankan netralitas, jika publik hanya ingin memercayai berita yang ingin mereka yakini. Bukan yang sebenarnya.

Lain hal dengan media yang mereka percayai. Sebohong apapun berita yang diberikan, mereka akan meyakini sebagai kebenaran. Asalkan kenyang dan senang.

Kondisi ini diperparah oleh para pelaku media yang sadar bahwa berita yang mereka buat tetap akan dilahap oleh kalangan tertentu, meski hanya sebatas utopia. Fakta dipelintir hingga nyaris bersentuhan dengan kebohongan, asalkan rating dan oplah tetap gemuk.

Kebohongan dan konstruksi fakta yang dilakukan oleh media semakin masif tatkala publik menempatkan diri sebagai objek pembodohan secara sukarela. Publik malas untuk melakukan konfirmasi terhadap suatu pemberitaan untuk sekadar menjaga keberimbangan. Mereka lebih suka menelan bulat-bulat berita yang sepaham dengan ideologi mereka.

Kondisi ini semakin pelik ketika media-media guram semakin menjamur dan berpayung pada kebebasan berpendapat. Jangan heran jika dewasa ini berita hoaks bertebaran seperti laron yang jatuh cinta pada cahaya.

Berita hoaks muncul akibat banyak yang mengamini kebohongan. Semudah itu teorinya. Jadi, tidak patut mengkambinghitamkan hoaks, karena publik sendiri yang membentuknya.

Berita hoaks pun lagi-lagi mendapati banyak penggemar jika memberitakan sesuatu yang mereka sukai. Kubu Prabowo, misalnya, kan menerima berita bangkitnya jutaan simpatisan PKI yang tidak berdasar. Sementara simpatisan Jokowi akan sukarela menelan berita dosa-dosa Prabowo di masa lalu yang belum tentu kebenarannya.

Salah siapa? Pelaku media? Jelas. Mereka mengencingi prinsip jurnalistik yang berpegang pada independensi dan faktualitas.

Tidak mudah memang menjalankan fungsi pers dan menjaga netralitas di tengah berbagai kepentingan pemilik modal. Terlebih di tahun politik seperti sekarang. Buang jauh-jauh angan independensi yang absolut. Sebab, selama sebuah media dibangun menggunakan modal, independensi yang tegak lurus nyaris mustahil diterapkan. Terlebih mengingat bahwa setiap media memiliki politik redaksi.

Media-media yang melacurkan independensi tak ubahnya Humas pada suatu korporasi. Bahkan lebih parah. Lebih memalukan karena para pelaku media semacam itu masih mendaku diri sebagai watch dog.

Kondisi ini sangat disayangkan mengingat Indonesia memiliki perjalanan pers yang tidak sebentar dan mudah.

Apakah publik salah? Oo.. Tidak. Publik tidak salah. Karena pada dasarnya kebodohan adala nama lain dari maha-benar.

Solo, November 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun