1 Mei, hari buruh, atau international worker day, atau May Day, merupakan sebuah lingkaran tidak berujung. Bagaimana mungkin satu hari dari 365 yang dirayakan setiap tahunnya, tidak membawa perubahan apapun, terutama di Indonesia? Sebegitu dalamnya kah para borjuis menancapkan tajinya pada sistem produksi, sehingga bebal akan rasa kemanusiaannya terhadap kaum buruh?
Pada praktiknya, di hari ini, hari yang katanya modern dan sistem kerja dibuat lebih manusiawi dan kekeluargaan, nyatanya masih jauh dari kesejahteraan yang selalu digaungkan para buruh setiap tanggal 1 Mei di jalan-jalan---yang oleh kebanyakan karyawan ditimpuki oleh perkataan nyinyir, padahal dirinya sendiri tergolong pada kelas pekerja atau kaum buruh.
Pada kebanyakan perusahaan berkembang---jika tidak ingin disebut perusahaan kecil---misalnya, kesejahteraan kaum buruh masih berupa utopia, masih kerap dianggap guyonan, yang sistem manejemennya dibuat seperti sedang bermain monopoli saat menunggu beduk magrib. Kesejahteraan buruhnya diletakkan pada nomor sekian setelah untung-rugi perusahaan.
Suara-suara para kaum buruh masih dianggap kentut, yang hanya menguar bau sebentar kemudian menguap hilang. Terparah, suara-suara yang menuntut kesejahteraan dianggap tindakan subversif dan layak diberi tempeleng.
Sudah tidak sejahtera, dianggap perusuh, ditempeleng pula. Ini gila. Karl Marx menggambarkan situasi demikian sebagai ekploitasi buruh.
Dalam hal pengupahan, sebenarnya, teori ekploitasi buruh menurut Marx sangat sederhana. Yakni jika tenaga proletar dilihat sebagai komoditas yang harganya ditentukan oleh mekanisme pasar (supply and demand). Jika hal tersebut terjadi di sebuah perusahaan, maka dalam badan usaha tersebut terdapat praktek eksploitasi buruh.
Perusahaan kerap mengupah para buruhnya dengan tarif yang didapuk berdasarkan hitungan tidak mendasar. Asal comot angka lalu negosiasi. Seperti menawar sekerat daging di pasar. Padahal, di dalam sistem kapitalisme pasar, terminologi yang mempengaruhi harga tenaga kerja adalah jumlah nilai semua komoditi yang perlu dibeli oleh buruh agar ia dapat melangsungkan hidupnya dalam payung kesejahteraan.
Tidak hanya pada sektor ekonomi, juga dalam aspek waktu. Ya, jam kerja. Hari buruh adalah peringatan kemenangan buruh di Chicago, AS, yang memangkas jam kerja hanya delapan jam, dari semula 20 jam. Alasan jam kerja yang tidak manusiawi menjadi salah satu pemicu gerakan kaum buruh besar-besaran di Amerika pada 1 Mei tahun 1886, yang melibatkan 400.000 orang buruh.
Oleh karena itu, perihal jam kerja tidak bisa dianggap sepele. Meski pada praktiknya, masih banyak perusahaan bandel yang memaksa pekerjanya bekerja di atas 8 jam dalam sehari dengan alasan loyalitas, meningkatkan kompetensi, atau tetek bengek yang membuai lainnya.
Jam Kerja bagi para pekerja di sektor swasta diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 77 sampai dengan pasal 85.Pasal 77 ayat 1, UU No.13/2003 mewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja.
Ketentuan jam kerja ini telah diatur dalam dua sistem, yaitu 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 Â minggu, atau 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka waktu kerja biasa dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur, sehingga buruh berhak atas upah lembur.
Rumus matematika hitungan uang lembur pun telah diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 78 ayat (2),(4), pasal 85 dan lebih lengkapnya diatur dalam Kepmenakertrans No.102/MEN/VI/2004.
Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004 , rumus perhitungan upah lembur dapat dilihat di sini.
Penghitungan upah lembur bukan sesuatu yang dihitung berdasarkan primbon atau arah mata angin di musim pancaroba. Upah lembur dihitung secara matematis berdasarkan tenaga dan waktu yang dikeluarkan seorang buruh di luar jam kerjanya.
Itu hanyalah dua aspek yang selalu dituntut oleh kaum buruh setiap tanggal 1 Mei. Bahkan dituntut setiap harinya, dengan risiko dirinya dianggap sebagai subversif atau "mengganggu kestabilan". Situasi ini sama seperti ketika Jenderal Tersenyum masih berkuasa. Gerakan buruh dianggap tindakan berbahaya dan diidentikan dengan komunisme.
Masih banyak lagi kelumit yang dialami oleh kaum buruh. Celakanya, perusahaan memanfaatkan para pekerjanya yang arogan dan cukup tolol untuk mendapuk diri sebagai kaum buruh, dan terlena dengan apa yang disuapkan pada mulutnya.
Yang terpenting dan paling harus dipenuhi oleh setiap pemilik modal atau perusahan adalah bagaimana pekerjanya bisa hidup sejahtera tanpa bekerja dalam tekanan dan gerutu yang tidak berkesudahan. Karena pada dasarnya sistem kerja adalah simbiosis mutualisme antara pemilik modal dan buruh.
Oleh karena itu, perjuangan para kaum buruh setiap tanggal 1 Mei, bukan sekadar perjuangan untuk menaikkan upah, menyelaraskan waktu kerja, menghapuskan sistem outsource, memperbaiki infrastruktur, transparansi informasi, ketidakjelasan sistem kontrak dan jobdesk pekerjaan, pemutusan kerja sepihak, serta barisan derita lainnya. Melainkan juga sebuah perjuangan luhung untuk menghentikan praktek ketamakan oleh kalangan borjuis pemilik modal, serta perjuangan untuk memanusiakan manusia.
May day!
Adia Puja Pradana
.....
sehari saja kawan
kalau kita mogok kerja
dan menyanyi dalam satu barisan
sehari saja kawan
kapitalis pasti kelabakan!!!
(Sehari Saja Kawan, Wiji Thukul, 1994)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H