Cemoohan dan candaan tentang kematian Jonghyun tidak hanya saya temui di dunia maya. Beberapa orang yang saya temui pun banyak melontarkan hal yang sama.
Tidak sedikit pula yang mencemooh cara Jonghyun meninggal, dengan cara bunuh diri. Ya, memang, bunuh diri adalah cara mati paling konyol. Namun tetap saja, dia telah meninggal. Seorang manusia yang meninggal. Sebuah nyawa telah hilang.
Sudah demikian anjlokkah kemanusiaan? Hingga kematian menjadi sasaran mulut-mulut yang sekolahnya hanya sampai gerbang saja. Apa karena dia seorang anggota boys band? Saya juga tidak menyukai boys band atau sesuatu yang berhubungan dengan Korea Selatan. Norak. Tapi tetap saja, bukan berarti kematian seseorang boleh dijadikan bulan-bulanan.
Jujur. Saya betul-betul tidak mengenal Jonghyun sampai pertengahan Desember lalu. Meski tidak gembar-gembor, tapi saya turut berduka untuknya. Juga untuk para penggemarnya, yang dinilai lebay oleh Netizen.
Mungkin jika saya sudah hidup pada tahun 1980, saya juga akan lebay ketika menyikapi kematian John Lennon.
Hanya ada dua cara menyikapi kematian seseorang: berduka, atau diam saja.
Ini bukan sekadar tentang Jonghyun. Ini tentang kemanusiaan. Mungkin hal tersebut terlihat remeh atau berlebihan. Namun, percayalah, dari hal remeh tersebut justru dapat menunjukkan kadar kemanusiaan yang dimiliki oleh pribadi seseorang. Menujukkan kadar intelektualitas seseorang.
Mungkin benar kata kebanyakan orang. Nilai kemanusiaan telah menjadi barang langka di tengah masyarakat kekinian. Bahkan untuk menyikapi kematian seseorang saja, mereka lupa caranya.
Tidak ada kematian yang layak dicemooh. Tidak seharusnya bersenang atas kematian orang lain.
Terkecuali. Jika Anda seorang Sherlock Holmes.
Adia PP