Monyet-monyet di hutan Gemah Ripah kembali dipusingkan oleh perilaku Mardiyan. Monyet kecil yang cerewet itu selalu saja membuat polah. Beberapa waktu yang lalu, ia pernah puasa bicara, pernah juga dirinya mogok makan pisang. Mardiyan sering sekali bertingkah seperti manusia.
Kali ini ia mulai gemar membaca buku.
Di hutan Gemah Ripah, tentu saja tidak ada buku. Hutan lindung itu hanya berisikan hewan-hewan yang tidak mungkin memiliki buku. Mardiyan mendapat bukunya tersebut ketika dirinya bermain di pasar manusia. Mardiyan memang monyet kecil yang paling nakal di antara monyet-monyet sepantarnya. Ia kerap mencuri kesempatan untuk menyelinap ke luar hutan.
Sekira pekan lalu, Mardiyan menyelinap ketika penghuni hutan Gemah Ripah tengah terlelap usai pesta pernikahan anak Pak Dulatip, tetua monyet. Sudah menjadi tradisi, akan digelar hajatan jika ada monyet yang menikah. Biasanya sekira dua hari dua malam. Terlebih jika anak tetua yang menikah. Pesta bisa berlangsung selama seminggu tanpa henti.
Kelelahan usai pesta yang mendera monyet-monyet dan penghuni hutan Gemah Ripah ini dimanfaatkan oleh Mardiyan untuk menyelinap. Diam-diam ia berangkat setelah semua monyet dirasa sudah terlelap. Ia berjinjit perlahan melewati tubuh-tubuh monyet yang tidak berdaya diserang kantuk. Kemudian dirinya menuju pasar. Tempat manusia berkumpul.
Di pasar, ia biasanya mencuri buah-buahan, atau makanan dalam sesajen yang berserakan di trotoar. Namun pagi itu, ia justru tertarik pada pedagang buku. Perlahan, ia mengendap dari batang pohon, kemudian mendekati pedagang buku tersebut. Ketika kakek penjualnya lengah, dengan gerakan segesit lebah, ia menyambar sebuah buku. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk memilah judul buku yang disenanginya. Pokoknya, asalkan ambil saja dahulu.
Mardiyan kemudian kembali ke dahan pohon diiringi makian dari kakek penjual buku, yang meneriakinnya sebagai anjing. Padahal dirinya monyet.
Begitulah awalnya mengapa Mardiyan mulai gemar membaca buku. Buku yang disambarnya ternyata berjudul “Menikah Muda, Siapa Takut?!”, karya seorang doktor. Mardiyan tidak peduli dengan isi buku tersebut, ia hanya ingin membaca.
Kegemaran baru Mardiyan tersebut membuat teman-temannya resah. Mereka takut jika Mardiyan ingin menjadi manusia. Dalam dunia monyet, meniru manusia adalah aib. Gawat jika perilaku Mardiyan dicontoh oleh monyet-monyet yang lebih muda. Nilai-nilai kemonyetan bisa saja terkikis dan mengalami krisis identitas.
Berbagai upaya dikerahkan oleh teman-teman Mardiyan. Mulai dari merayunya untuk berhenti membaca buku, hingga mengancam akan menggebukinya jika masih bersikeras untuk membaca. Namun usaha mereka nihil. Mardiyan tetap ingin membaca buku. Setiap hari ia menenggelamkan wajah di balik buku curian tersebut.
Hingga suatu hari, monyet-monyet ini merebut paksa buku ketika Mardiyan tengah asik membacanya di balik daun sambil menyeruput limun. Mardiyan berang bukan main. Teman-temannya saling oper buku tersebut agar tidak kembali ke genggaman Mardiyan. Mardiyan mulai menangis karena kegemaran barunya direnggut.
“Lupakan saja buku ini, Mar! Kamu tidak boleh membaca buku, karena itu menyerupai perilaku manusia!” seru Erlangga, salah satu teman yang menyabotase buku Mardiyan.
Mardiyan terisak, “Justru kalian yang seperti manusia. Karena manusia tidak ada yang membaca buku!”
"Selamat Hari Buku Nasional."
Adia PP
Jakarta, 17 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H