Sejak kecil hingga kini telah remaja, saya diajarkan—entah Anda diajarkan atau tidak—bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Sempurna dalam segalanya. Baik dalam hal psikis maupun fisik. Terlepas dari perihal agama—dari ilmu biologi dan psikologi pun, manusia memang dinilai paling sempurna dibandingkan dua makhluk hidup lainnya; fauna dan flora.
Berpedoman pada hal itu pula, manusia merasa dirinya digdaya. Predikat “sempurna” tersebut, membuat manusia merasa sebagai raja dunia. Bahwa dunia memang diciptakan sebagai sepiring kue pie yang patut dibagi-bagi antar-manusia. Makhluk lain, hanyalah penumpang.
Seiring bertambah tuanya waktu, berkembang pula diameter otak manusia. Yang semula hanya sebesar kacang tanah, dan berperilaku layaknya kera, kini telah berani menobatkan diri sebagai homo sapiens. Manusia modern yang dianggap satu-satunya spesies yang bertahan hidup. Survival of the fittest, kalau kata Darwin. Bersamaan dengan gelar itu pula, manusia menolak mati-matian disamakan dengan kera. Padahal suka atau tidak, nyatanya manusia berbagi 97 persen gen yang sama dengan primata. Dengan selisih 3 persen itu, menjadikan manusia sebagai makhluk paling menyebalkan di planet ini. Menjadi predator nomor wahid.
Tulisan ini berangkat dari obrolan bersama seorang teman. Ia memberi tahu, bahwa di belahan dunia sana, ternyata ada segerombolan manusia yang memakan hewan secara hidup-hidup. Lantas saya diberikan salah satu tautan video yang memuat adegan keji tersebut.
Pada video tersebut ditampilkan adegan seorang wanita yang tengah memakan katak yang masih hidup. Seekor katak yang berukuran cukup besar, dibelek perutnya, kemudian jeroannya dikeluarkan, dan dipotong-potong dagingnya menyerupai dadu. Semua itu dilakukan ketika si katak apes tersebut masih hidup. Tanpa suntik anestesi. Kemudian, wanita tersebut menyuap satu-persatu daging katak yang masih menggeliat kesakitan.
Bagian paling mengharukan adalah, ketika si katak menatap satu-persatu bagian tubuhnya telah berpindah ke mulut wanita cantik-tapi-doyan-makan-katak tersebut. Bayangkan. Tubuh Anda dimutilasi, kemudian Anda belum diizinkan mati. Justru dipaksa menyaksikan daging-daging Anda dimakan oleh Godzilla. Lalu bagian tubuh Anda yang “masih hidup” berdenyut pelan ketika tercemplung ke dalam asam lambung si Godzilla. Membayangkan saja, saya sudah bergidik. Saking horornya saya menganggap video tersebut adalah potongan dari film SAW.
Itu baru katak. Belum lagi ikan yang tubuhnya diiris-iris dalam keadaan hidup dan sadar sepenuhnya tanpa pengaruh alkohol. Ada juga gurita yang bernasib sama, kemudian luka sayatannya disiram oleh cuka atau kecap asin. Terbayang perihnya? Lebih perih ketimbang melihat mantan kita sudah bertunangan. Sedangkan kita masih jomblo. Juga pengangguran. Juga jerawatan. Saya jamin.
Superioritas manusia pada hewan memang bukan hal yang baru. Okelah jika hewan tersebut memang layak konsumsi, tetapi ‘kan ada prosedur yang tepat. Bukan dengan cara dimakan hidup-hidup seperti suku barbar yang belum mengenal panci dan Royco. Itu ibarat bertamu, tanpa mengucapkan salam dan tidak membuka sepatu. Tidak sepantasnya. Lebih kurang, begitu analoginya.
Dosa-dosa manusia pada hewan masih berderet panjang. Konsumsi hiu, eksploitasi lumba-lumba, perburuan liar harimau; badak; burung-burung langka, pembunuhan orangutan, perbudakan marsupilami, dan masih banyak lagi. Itu baru pada hewan. Bagaimana pada tumbuhan?
Pernah menonton film The Lorax? Apa? Tidak pernah? Makanya jangan nonton pilem hantu-seksi melulu. Begini, film animasi besutan Chris Renaud dan Kyle Balda ini sangat sarat tentang superioritas manusia pada tumbuhan. Singkat cerita, pada suatu zaman di masa depan, manusia hidup tanpa mengenal tumbuhan, karena telah dibabat habis oleh para pendahulunya. Akibatnya manusia harus membeli oksigen dalam kemasan untuk bertahan hidup. Kecemasan serupa juga ditampilkan oleh film animasi Wall-E.
Keduanya bercerita tentang kondisi bumi di masa depan yang sudah hancur akibat pengelolaan alam yang buruk oleh manusia. Penebangan pohon menjadi salah satu penyebabnya. Bukan tidak mungkin, sekian tahun dari sekarang, apa yang digambarkan oleh film tersebut akan terjadi pada ras manusia.
Menurut data yang saya lansir dari National Geographic, dalam kurun waktu tahun 2009-2013 saja, Kalimantan kehilangan 4,6 juta hektar hutannya. Luas tersebut setara dengan tujuh kali luas Provinsi DKI Jakarta. Demi sekian rupiah, manusia merasa sudah cukup sempurna untuk hidup tanpa oksigen di kemudian hari. Pohon-pohon dibunuh. Pohon-pohon dibakar. Sekian juta organisme yang menggantungkan hidup pada hutan, mati.
Sudah demikian parahkah rasa jemawa para manusia? Karena merasa paling sempurna, lantas berhak bertindak semena-mena pada makhluk lainnya. Padahal, tanpa disadari, arogansi manusia pada flora dan fauna akan berdampak pada ras manusia itu sendiri kelak. Manusia boleh saja sempurna, namun tidak untuk rasa kemanusiaannya.
Pada hakikatnya tidak ada yang sempurna kecuali cinta. Begitu kata Rizky Febian. Anak Sule. Klasik.
Adia PP
Bandung, 20 Januari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H