Mohon tunggu...
Adia Puja
Adia Puja Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Kriminal

Penikmat teh juga susu. http://daiwisampad.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Para Burung

2 Oktober 2016   02:20 Diperbarui: 2 Oktober 2016   08:23 11317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami adalah sekawanan burung dalam jenis yang berbeda. Persamaan nasib yang mempersatukan kami. Nasib sebagai peliharaan dan ditempatkan dalam satu sangkar yang sama. Sebuah sangkar yang terbuat dari jeruji berlapis emas murni yang kadar karatnya tidak dapat ditakar. Selain itu, ukurannya sangat besar. Kami tidak perlu berdesakkan di dalamnya. Burung-burung lain dari luar sangkar, selalu berdecak kagum sekaligus mengaku iri terhadap sangkar yang kami huni. Tidak semua burung bisa seberuntung kami.

Di dalam sangkar, pemilik kami membuat miniatur hutan. Berbagai macam pohon ditanam di dalamnya. Hal tersebut membuat kami merasa kerasan. Suasananya membuat kami serasa sedang di “rumah”, meskipun kami tidak pernah mengenal tempat asal masing-masing. Semenjak bisa mengingat, kami sudah berada di dalam sangkar indah ini.

Selain itu, pemilik kami membuatkan kolam lengkap dengan air mancur. Kami bisa mandi sepuasnya di sana, atau sekadar meminum air kolam yang selalu diganti setiap hari Minggu. Jika bosan bertengger di dahan pohon, kami biasa bercengkrama di atas batu-batu yang disebar di mengelilingi kolam.

Makanan? Jangan ditanya. Pemilik kami selalu memberi pakanan dengan kualitas nomor satu yang acap membuat perut kami menggembung. Biji-bijian untuk si Kakaktua dan Parkit, buah-buahan untuk si Beo dan Nuri, sedang daging bagi para burung pemangsa. Semua jenis burung mendapat jatah makanan masing-masing sesuai seleranya. Bahkan, burung pemakan bangkai tidak pernah diberi bangkai.

Pemilik kami adalah seorang yang tegas, berwibawa, bijaksana, sekaligus murah senyum. Menurut sas-sus, pemilik kami merupakan mantan anggota tentara. Dahulu, ia terkenal bertangan-besi, galak, dan tidak sedikit yang menganggapnya kejam. Namun, bagi kami, hal tersebut tetaplah kabar angin. Karena nyatanya, ia membangunkan kami kandang yang demikian indah beserta isinya. Juga tidak pernah membuat kami kelaparan barang sedetikpun. Kalaupun kabar tersebut benar, kami tidak peduli. Yang penting, hidup kami enak dan nyaman. Ia tetap menjadi majikan yang sempurna di mata kami, para burung.

Awalnya, semua berjalan dengan sangat sempurna. Semua burung merasa bahagia. Namun, ada kejadian aneh belakangan ini. Beberapa burung mulai hilang secara misterius. Semula kami berpikir mereka melarikan diri dari sangkar. Namun hal tersebut tidak masuk akal karena sangkar ini memiliki jeruji yang kuat, kecil kemungkinan dijebol hanya menggunakan paruh burung yang mungil. Satu-satunya jalan ke luar adalah pintu seukuran manusia yang biasa digunakan oleh pemilik kami jika hendak memberi makan atau membangun sesuatu. Pintu tersebut selalu terlihat terkunci. Yang memungkinkan ke luar dan masuk melalui pintu tersebut hanyalah pemilik kami yang memiliki kuncinya. Lagipula, tidak ada jeruji yang patah atau berlubang.

Hari demi hari berlalu dengan berita hilangnya beberapa ekor burung. Berita tersebut selalu kami dapatkan ketika pagi hari, yang artinya burung-burung tersebut menghilang ketika malam hari. Kali ini yang hilang adalah si Nuri. Belakangan, ia memang sedang keranjingan menyanyi. Segala lagu yang didengarnya, dinyanyikan kembali dengan merdu. Suaranya yang indah membuat dirinya, kami nobatkan sebagai seniman di sangkar ini. Namun tadi malam, seniman kami tersebut menghilang secara tiba-tiba. Tanpa jejak.

Beberapa hari sebelum menghilangnya Nuri, adalah si burung Beo. Dirinya baru saja belajar bicara. Segala hal ia bicarakan. Hobi barunya tersebut tidak mengenal waktu. Siang dan malam ia meracau tidak tentu, mengulang kalimat-kalimat yang baru saja dipelajarinya. Awalnya kami merasa terganggu oleh si Beo yang mendadak ceriwis. Namun kelamaan kami menjadi terbiasa dengan celotehannya. Malah, kami menikmati setiap kali si Beo bercerita. Ia burung yang pandai. Tidak semua burung dapat berani bersuara seperti itu. Namun malang, nasibnya sama seperti si Nuri. Beo hilang ditelan kegelapan malam ketika kami sedang tertidur pulas di dahan-dahan pohon.

Kondisi seperti ini semakin dirasa tidak menyenangkan. Harmonisasi di kandang berubah setelah satu-persatu kawan kami menghilang. Entah ke mana. Tanpa pamitan terlebih jejak. Tidak hanya burung-burung kecil, burung pemangsa yang ukuran tubuhnya lebih besar saja, bisa tiba-tiba menghilang. Elang, Rajawali, Gagak, yang biasa sok berkuasa dan kerap mengambil jatah makanan burung lainnya, tetiba saja menghilang pada suatu malam.

Segalanya semakin mengerikan setelah beberapa burung yang menghilang ditemukan sudah membangkai di luar sangkar. Tubuh mereka terlihat kaku seperti batang kayu. Mereka yang biasanya bergerak lincah melompati dahan-dahan, kini terlihat menyedihkan. Dikerubuti kawanan lalat dan belatung yang siap mengubah rupa mereka.

Di tengah rasa gelisah, kembali muncul sas-sus yang mengabarkan bahwa pelaku penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa burung, adalah pemilik kami sendiri. Entah mengapa pemilik kami yang murah senyum tersebut, benci kepada burung yang doyan menyanyi, berbicara, berlaku kasar, dan lainnya. Bahkan kawan-kawan yang berusaha kabur dari dalam sangkar, nasibnya akan berakhir di tangan lalat dan belatung seperti yang lainnya. Siapapun yang mengusik rasa tidak sukanya, akan hilang.

Keharmonisan di dalam sangkar kian goyah. Para Beo tidak lagi berani berbicara, Pipit dan Nuri berhenti berkicau. Para Elang dan Gagak pun yang biasanya sok jago tiba-tiba berubah menjadi anak baik. Kami hidup di dalam ketakutan. Kami takut akan bernasib sama dengan kawan-kawan yang menghilang atau mati. Seketika, hidup di sangkar emas yang indah dengan makanan berlimpah ini pun tidak lagi menyenangkan. Kami menjadi iri kepada para burung di luar sana yang bebas terbang dan berkicau.

Kemudian tibalah pada suatu hari yang menentukan. Kami bertekad akan menjebol sangkar ini, apapun caranya demi memperoleh kebebasan. Maka, dengan bersatu-padu, mengerahkan segala kekuatan dan upaya,  kami patuki jeruji-jeruji emas yang melindungi sangkar. Benar saja, segala upaya yang dilakukan secara bersama-sama akan berbuah manis. Beberapa jeruji berhasil kami patahkan hingga membuat sebuah celah yang bisa dilewati oleh semua burung.

Tanpa berpikir panjang, kami semua melesat terbang meninggalkan sangkar emas yang memberikan kami kehidupan selama bertahun lamanya. Kami mengepakkan sayap sekencangnya menuju langit. Udara kebebasan terasa begitu berbeda. Kami terbang seenaknya tanpa arah.

Meski demikian, satu kesulitan kembali muncul. Kami bingung bagaimana cara mencari makan. Kami bingung harus bermalam di mana. Hidup yang terlampau nikmat di dalam sangkar membuat insting hewani kami tumpul. Bahkan hilang sama sekali. Segera, kami menjadi burung-burung tanpa arah.

Beberapa dari kami mulai merindukan sangkar emas yang serba-ada tersebut. Di dalam sana kami tidak perlu repot mencari makan, atau kedinginan tanpa tempat berteduh. Bagi mereka yang rindu akan pemilik kami, tidak peduli akan segala ancaman, asalkan patuh dan tidak berulah, hidup dijamin sejahtera.

Sedangkan tidak sedikit pula burung yang tetap memilih hidup di luar sangkar. Meskipun kesulitan dalam mencari makan dan tempat berlindung, setidaknya mereka merasa bebas menjadi apa saja. Mereka bisa berkicau, bernyanyi, berbicara, apa saja tanpa harus takut kehilangan nyawa.

Aku sendiri? Aku tidak tahu. Bagi burung gereja sepertiku yang tidak bisa bernyanyi indah dan terbang tinggi, serta tidak banyak makan ini, semuanya sama saja. Tidak ada yang lebih baik.

Adia PP

Bandung, 19 Maret 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun