Walhasil, beberapa teman kemudian memanfaatkan arisan warga, pengajian ibu-ibu belasan orang, atau ketuk dari satu pintu ke pintu lain jadi andalan.
Ada juga yang mengumpulkan warga belasan orang di rumah untuk mengobrol santai. Tak pakai-pakai atribut kampanye segala. Senyap saja asal nawaitu kampanye sukses dijalankan.
Ada juga yang menitipkan saja alat peraga kampanye kepada simpul massa. Itu jauh lebih ringan ketimbang mengikuti aturan yang dirasa ribet bagi para caleg.
Menariknya juga, caleg yang lebih suka kampanye tak resmi ini ya banyak juga. Tak hanya caleg untuk dewan kota atau provinsi.Â
Mereka yang caleg DPR dan DPD juga sama. Nyaris tak mengurus STTP atau sejenisnya untuk kampanye.Â
Pokoknya jalan saja. ketemu konstituen, sampaikan keinginan, mohon dukungan, kasih cenderamata, kelar urusan.Â
Sebagai orang yang juga males berurusan dengan administrasi yang ribet, saya setuju yang demikian. Kalau ada cara yang simpel, buat apa pakai cara yang ribet.
Pengawasan juga ketat banget kata kawan-kawan yang nyaleg. Kata mereka, pengawasan ini tak adil. Penguasa yang nepotis saja tak ada pengawasan. Tapi kepada caleg-caleg yang punya komitmen bagus untuk memajukan daerah, malah seolah dicari salahnya di mana.
Seorang teman caleg berusan ditelepon gara-gara hadir di pengajian warga karena diundang. Tentu tak mengurus surat tetek bengek lainnya.Â
Itu saja sampai ditelepon RT setempat. Heboh banget.Â
Padahal ketika pejabat negara tetap kampanye pakai fasilitas negara, santai-santai saja. Benar juga ya, hukum itu tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Kalau ke rakyat biasa tegas, ke pejabat negara ambyar blas.