KPPS mengeluh kepada saya. Mereka kesal karena usai pelantikan tak dapat uang pengganti transpor.Â
Beberapa teman yang sudah ikut pelantikan kelompok penyelenggara pemungutan suara atauPadahal KPU Pusat sudah mewanti-wanti agar tidak ada pemotongan uang transpor ini. Berita soal ini marak juga di media massa dan media sosial. Salah satunya bisa dibaca di sini.
Jika merujuk aturan pusat, honor atau uang pengganti transpor ini senilai Rp150 ribu. Kalau mengikuti beberapa kegiatan KPU sebagai peserta sejauh ini, biasanya kami mendapat Rp95 ribu rupiah. Mestinya sih Rp100 ribu karena ada potong pajak, nilainya jadi Rp95 ribu.
Dua teman tadi heran kenapa mereka tidak mendapat yang transpor usai pelantikan. Padahal di kabupaten dan kota lain, anggota KPPS langsung terima duit tranpor usai pelatihan dan bimbingan teknis (bimtek).
Ini juga sama kala saya acap menjadi narasumber kegiatan KPU atau kedinasan yang lain, honor dikasih usai dipotong pajak.
Kekesalan beberapa kenalan yang jadi KPPS ini buat saya wajar sih. Namanya juga kegiatan negara yang sudah dianggarkan. Mestinya ya dikeluarkan sesuai dengan aturan.
Beberapa berita yang saya baca di media daring, banyak KPPS akhirnya mengundurkan diri lantaran honorarium mereka tidak dibayar usai pelantikan.
Dari sini mestinya KPU di tingkat kota/kabupaten lebih saksama dan hati-hati dalam melangkah. Apa yang mestinya sudah menjadi hak, tolonglah diberikan.Â
Lagipula itu semua sudah dianggarkan. Kita tidak ingin ada stigma terhadap KPU dalam mengelola keuangan.
Sebetulnya rada aneh juga sih kejadian semacam ini masih terjadi. Apalagi zaman media sosial semakin mendigital.Â
Sudah tentu orang protes kalau honor atau haknya tidak dibayar. Pasti akan ramai unggahan semacam itu.
Mungkin bagi kalangan berpunya, duit Rp150 ribu itu kecil. Barangkali itu uang jajan anaknya sehari.
Akan tetapi, bagi petugas KPPS, dan mungkin mayoritas warga kita, uang sebesar itu lumayan berharga. Maka itu, imbauan kepada semua KPU yang belum membayar uang transpor pelantikan KPPS, agar segera menunaikannya.
Jangan sampai ini jadi preseden buruk. Apalagi ini bakti untuk negara.
Dari bahan obrolan dengan beberapa teman, banyak sebetulnya yang tidak ingin jadi KPPS. Apalagi yang sudah sering jadi KPPS. Kebanyakan mendorong anak muda atau milenial serta gen Z untuk jadi petugas.
Namun, di tingkat RW dan RT sebagian besar keberatan kalau semua anggota KPPS-nya baru. Mesti ada yang senior untuk berbagi pengalaman.
Meskipun honorarium KPPS sudah meningkat, tetap saja banyak yang sebetulnya keberatan. Namun, karena pengabdian untuk negara, mereka mau.Â
Kan jadi paradoksal, nawaitu mereka melancarkan pemilu malah diganjar tidak ditunaikan hak oleh penyelenggara pemilunya. []
Foto pinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H