kampung halaman sudah beranjak balik ke rumah dan aktivitas kerjanya. Beberapa lagi masih berada di kampung masing-masing untuk merampungkan liburan.
Lebaran sudah memasuki hari ke-9 untuk tahun 1444 Hijariah. Jutaan orang yang masih diTentu banyak kegiatan dan kenangan yang ada di kampung halaman. Baik selama masa kecil maupun dalam musim lebaran kali ini.
Semua orang pasti berharap kampung halamannya maju dan berkembang. Maju dan berkembang dalam banyak konteks. Bisa jadi secara kesejahteraaan maupun pula pendidikan.
Secara umum kasatmata hampir semua kampung halaman beranjak maju usai kita tinggalkan. Memang sudah menjadi zamannya untuk maju bersama.
Banyak kampung halaman maju disebabkan kepedulian warganya sendiri. Warga dalam artian mereka yang masih ada di kampung itu ataupun mereka yang menjadi anak rantauan.
Namun memang kesadaran untuk itu belum begitu banyak. Ada tapi sedikit. Dalam biografi Karni Ilyas diceritakan bagaimana Karni membangun sekolah lengkap dengan semua sarananya di kampung halamannya. Itu terjadi saat Karni berada pada masa jayanya.
Apa yang dikerjakan Karni barangkali memberi inspirasi kepada kita. Namun, dalam bentuk yang tidak sama.
Membangun kampung halaman tentu tidak menunggu kita sukses secara keduniaan. Membangun kampung bisa saja dilakukan sejak kita menjadi perantau dengan tetap berkomunikasi dengan warga di sana.
Saya punya teman yang sekarang menjadi humas di sebuah sekolah Islam terpadu. Namun, ia juga memberikan perhatian kepada kampung halaman dengan membuat taman baca. Jarak antara kampung halaman dan tempatnya sekarang berdomisili memang tak jauh. Hanya beda kabupaten. Mungkin jika berkendara butuh tiga jam sampai.
Taman baca itu akhirnya menjadi oasis bagi anak-anak untuk meningkatkan literasi. Jadi, tak perlu menunggu sampai kita sukses baru kemudian berbuat.
Tentu apa yang mau kita sumbangsihkan itu disesuaikan saja dengan kapasitas dan potensi. Setiap orang tidak sama. Tiap orang punya kapasitas yang berbeda. Tiap kita ada kontribusi yang bisa diberikan.
Mungkin bisa disatukan pada satu ranah tapi bisa juga di bidang lainnya. Misalnya perantauan yang punya kepedulian terhadap pendidikan bisa menginisiasi sekolah atau pusat pembelajaran jika memang belum ada. Atau kalau dirasa semua infrastruktur pendidikan sudah oke, tinggal membantu warga saja. Khususnya mereka yang papa.
Bentuk kontribusi ini pada kampung halaman pasti punya dampak besar jika dikerjakan secara berjemaah. Saya coba rangkumkan tipsnya supaya surat untuk kampung halaman ini mengejawantah dalam bentuk yang lebih konkret.
Pertama, menganalisis kebutuhan kampung
Silakan berembuk para perantau. Dicari apa yang paling dibutuhkan dari warga di kampung halaman.Â
Kalau setakat pengalaman, yang paling mudah dan pasti ada itu kebutuhan membantu warga tak mampu. Bisa untuk pangan karena memang terkategori fakir, bisa juga untuk membantu biaya pendidikan anak-anak.Â
Meski sekarang sekolah katanya gratis, ada banyak kebutuhan yang mesti dipenuhi. Fokuskan saja ke satu bidang ini.Â
Misalnya disepakati untuk membantu 50 orang anak usia sekolah dasar sampai mereka masuk SMP. Direken kebutuhan bulanan seberapa besar kemudian dibagi kepada perantau di luar. Silakan berkontribusi sesuai dengan kemampuan.
Kedua, dipilih penanggung jawab yang amanah di kampung asal
Usai itu, dipilih penanggung jawab yang mengontrol filantropi tadi. Upayakan biaya pendidikan itu tidak dalam bentuk uang melainkan kebutuhan mereka apa.Â
Mungkin buku, mungkin tas, mungkin juga paket internet, dan lainnya. Jika diberikan uang, sudah banyak kejadian tak sampai atau dibelikan kebutuhan harian.
Penanggung jawab inilah yang akan mengevaluasi seberapa efektif program itu dijalankan. Dia inilah yang nanti akan memberikan penilaian termasuk mungkin perubahan program dari para anak rantau ini.
Ketiga, berkoordinasi dengan aparat kampung atau desa
Di banyak kejadian, filantropi tak tepat sasaran karena si pemberi langsung saja ke penerima manfaat. Perangkat atau apararur desa tidak diberi tahu. Padahal, aparat desa ini tahu data siapa saja yang mesti dibantu.
Ini pengalaman saya sendiri ketika ingin mengajak kolaborasi banyak lembaga untuk membantu kampung halaman. Rupanya, ketidakefektifan itu juga disumbang karena kita enggan berhubungan dengan aparatur. Padahal, mereka pihak yang paling bertanggung jawab di lingkungan itu.
Oleh karena itu, penting untuk mengajak mereka sehingga program untuk kampung halaman ini sukses. Dan di banyak pengalaman organisasi filantropi, cara ini sukses.Â
Kita bisa berkontribusi, aparatur kampung juga punya peran. Semua pihak dapat manfaat dan nama baik.
Keempat, istikamah
Banyak program untuk kampung halaman bubar usai beberapa bulan. Istikamah rasanya masih sulit diwujudkan menjadi kultur kita.
Ke depan, supaya program untuk kampung halaman ini sukses, kita butuh istikamah. Semua yang sedari awal sudah komitmen, diharapkan menjaga komitmen itu.Â
Yang sudah janji setiap bulan sumbang seratus ribu rupiah, upayakan istikamah. Itulah penting tadi kita punya penanggung jawab di lapangan serta berkoordinasi dengan aparatur kampung.
Semoga artikel ini tidak sekadar menjadi surat untuk kampung halaman. Semoga ini menjadi ide dan mengejawantah dalam bentuk riil program untuk saudara di kampung halaman.Â
Ini bentuk amal sosial kita. Siapa tahu Allah swt rida dan menjadikan ini rahmat untuk memasukkan kita ke jannah-Nya. Amin. [Adian Saputra]
Foto pinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H