pemain sepak bola itu sulit masuk surga. Kata dia, dosa pemain sepak bola itu besar sekali. Setiap kali main, selalu bikin dosa.
Istri saya bilang kalau semuaSaya kemudian tanya, kenapa bisa demikian. Ia bilang begini. Mana bisa masuk surga kalau semua aktivitas dalam permainan itu tipu-tipu semua.
Dia bilang ke saya coba perhatikan apa kata presenter bola dan komentator ketika memberikan ulasan pertandingan sepak bola. Khususnya lagi di dalam negeri.
Misalnya, kata istri saya. Pemain selalu mengecoh lawannya. Melakukan gerak tipu untuk mengibuli lawannya.
Kadang suka diving alias pura-pura jatuh di dalam kotak penalti supaya dapat tendangan 12 pas. Ada juga pemain yang hobinya mengelabui kiper lawan sehingga mudah menceploskan bola.
Sering juga pemain sepak bola pura-pura kesakitan dan telentang di lapangan karena mengaku kram padahal tidak. Ada juga pemain sepak bola yang lama sekali meninggalkan lapangan padahal mestinya lekas keluar untuk ganti pemain. Dan masih banyak lainnya.
Istri saya terkesan benar dengan diksi yang dipilih presenter bola yang konotasinya negatif. Menipu, mengecoh, mengelabui, dan lainnya. Seolah-olah tidak ada diksi yang lebih elegan untuk disematkan kepada pemain bola.
Saya tertawa saja begitu ia sampaikan demikian. Karena menarik dan soal kebahasaan, ini saya kompasiana-kan saja.
Kalau kita simak pertandingan sepak bola, khususnya di Indonesia, memang kosakata yang semacam itulah yang sering diujarkan. Ketika ujung tombok berusaha melewati hadangan bek lawan, ia berusaha melakukan gerak tipu. Ia melakukan tipuan sehingga bek mudah dilewati.
Demikian juga seorang gelandang bertahan berusaha mengelabui pemain lawan agar bola tetap merapat di kakinya. Bek juga tak sungkan mengecoh pemain lawan agar bola tak membahayakan gawang timnya.
Ya dalam pertandingan memang strategi yang penting. Kemudian ditunjang kepiawaian pemainnya.