Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mengapa Profesi Pustakawan Acap Dipandang Sebelah Mata?

22 Februari 2023   14:57 Diperbarui: 23 Februari 2023   10:00 1330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun ini saya kembali diminta menjadi mentor ekstrakurikuler (ekskul) jurnalistik di Mahad Al Jamiah UIN Raden Intan Lampung. Ini tahun keempat saya diminta menjadi teman diskusi para mahasantri di sini. 

Sabtu lalu kami memulai sesi di semester genap ini. Ada belasan mahasantri yang ikut kelas ini. 

Mereka berasal dari beragam fakultas. Hanya dua sampai tiga orang dari Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) tempat saya pernah lima tahun jadi dosen luar biasa (DLB) di situ.

Pembahasan Sabtu lalu lumayan menarik. Saya beri materi soal menulis opini. 

Saya hanya kasih kisi-kisi materi selama 40 menit. Selebihnya kami diskusi setelah mereka saya kasih tugas menulis opini.

Rosi, salah satu mahasiswi, membacakan hasil tulisannya. Rosi baru sedikit menulis. Tapi judulnya lumayan menarik. Yang ia sampaikan itu kemudian saya tuliskan sebagai narasi di sini.

Rosi memang kuliah di program studi perpustakaan. Usai ia membacakan tugas, kami diskusi. 

Semua sepakat, poin yang diketengahkan Rosi sangat bagus. Namun, ia masih agak kepayahan untuk meneruskan menjadi cerita yang utuh.

Rosi bilang, ada kesan di masyarakat, memandang sebelah mata profesi pustakawan. Banyak orang juga hanya tahu kalau pustakawan itu kerjanya duduk manis saja di perpustakaan. 

Kemudian kalau ada pengunjung datang, ia sesekali mengamati dan melayani jika mereka hendak pinjam buku. Pustakawan juga biasanya mencarikan buku yang diinginkan pengunjung.

Pendek kata, profesi ini tampak tak begitu populer. Ia tersisih jika disandingkan dengan profesi lain, semisal guru, dokter, karyawan kantoran, dosen, dan sebagainya. Beberapa teman Rosi memberikan masukan agar ia tetap percaya diri dengan program studi yang ditekuninya.

Tangkapan layar Instagram Velove Vexia @vaelovexia
Tangkapan layar Instagram Velove Vexia @vaelovexia

Ada beberapa alasan yang barangkali menjadi sebab profesi ini tak begitu populer. Karena tak populer itu kemudian dipandang sebelah mata.

Pertama, kerja pustakawan diam di tempat

Kemungkinan pertama karena kerja pustawakan ini diam di tempatnya. Relatif ruang lingkup hilir mudiknya hanya di ruang besar yang berisi buku dengan suasana hening. Karena berdiam di tempat, ia tak punya cukup akses untuk keluar. Kalau pustakawannya keluar, pengunjungnya bagaimana dong?

Berdiam di tempat memang menjadi dapukan utama pustakawan. Kalaupun ia bergerak, ruangnya sangat terbatas. 

Apalagi yang berkunjung ke perpustakaan pun tentu tak sebanyak yang berkunjung ke kantin. Juga tak sebanyak mereka yang pilih kafe untuk baca dan menulis. 

Dengan kata lain, ruang ini menjadi kungkungan bagi pustakawan untuk bergerak. Walhasil, mereka tak dikenal banyak orang. 

Mungkin menarik juga bila diriset berapa banyak pengunjung perpustakaan di sebuah SMA atau perpustakaan daerah setahunnya. Dari situ ketahuan jumlah pengujung. 

Ambil rerata separuh saja yang kenal pustakawannya. Itulah orang yang riil dengan pustakawan tersebut.

Kedua, tak banyak interaksi

Teman-teman peserta ekskul bilang, kemungkinan selama ini para pustakawan tidak banyak interaksi di luar. Ya tadi itu. Karena hanya berdiam diri, interaksinya tidak seperti profesi lain. 

Guru misalnya. Setiap hari bertemu orang dengan jumlah yang pasti. Satu atau dua kelas. Jika satu kelas 30 orang, sehari ketemu 60 orang. Interaksinya juga intensif. Dalam arti, komunikasi terbangun dengan baik.

Khusus pustakawan, interaksinya tentu tak banyak. Ia "sibuk" dengan pekerjaan yang itu-itu saja. Kalau tak mencatat buku yang dipinjam, ya mencatat buku yang dikembalikan. Plus dengan uang denda jika meminjamnya sudah lewat tenggat. 

Yang runyam, mencatat buku yang tidak dikembalikan oleh pengunjung. Entah sudah berapa banyak yang seperti itu. 

Kalau Anda senyum-senyum, berarti pernah kejadian pinjam buku tapi tidak mengembalikan. Alhamdulillah saya tidak pernah demikian. Soalnya jarang ke perpustakaan, hahaha.

Ketiga, menjemukan

Boleh jadi pekerjaan pustakawan bagi sebagian orang benar-benar menjemukan. Bagaimana tak jemu jika delapan jam kerja dikurung di ruangan itu saja. 

Mau bergerak, khawatir ada pengunjung datang. Jadi, hilir mudiknya terbatas. 

Hal itulah yang mungkin menjadi faktor utama kejemuan yang dirasakan pustakawan. Karena itu juga, sebagian kalangan mungkin memandangnya sebelah mata.

Bagaimana kita bisa nyaman kerja kalau aktivitasnya menjemukan. Kerjaan zaman sekarang bagi milenial dicari yang bergerak, aktif, interaksi dengan orang lain, dan sebagainya. Ini jika dilakukan sungguh membunuh kejemuan itu.

Keempat, titian karier

Lazimnya perpustakaan pasti dimiliki lembaga tertentu. Misalnya, sekolah atau pemerintah provinsi atau kota serta kabupaten. Katakanlah itu semua dikerjakan aparatur sipil negara (ASN) atau dulu dikenal sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Jenjang dan kepangkatan pasti mengikuti prosedur baku di entitas negara dan pemerintahan.

Beberapa kenalan yang profesi ASN malah kurang nyaman jika diletakkan di lembaga perpustakaan dan arsip ini. Mereka lebih suka dipekerjakan di dinas atau satuan kerja lainnya. Mungkin, persepsi yang agak gimana gitu terhadap profesi pustakawan ini memang melekat betul.

Di kantor koran tempat saya kerja dahuku juga ada pustakawan. Tiga poin yang saya sebutkan tadi ya benar adanya. Walhasil, jika ada peluang untuk beralih kerja di bagian lain, pasti diiyakan.

Pencerahan dan Solusi

Saya tidak ingin sekadar menuliskan soal pandangan suram ini kepada profesi pustakawan. Saya hendak memberikan beberapa hal yang mungkin ke depan bisa dilakukan. Dengan begitu, ada peluang jenis kerjaan ini lebih dipandang.

Esensi kerjaan sebetulnya bukan soal pandangan orang. Namun, apakah kita sudah optimal bekerja di bidang itu atau belum.

Saya punya teman seorang pustakawan. Dia juga penulis blog dan aktif ngetweet. Kami beberapa kali satu forum di sebuah forum kepenulisan, juga forum narablog. Ia aktif sebagai pustakawan di sebuah sekolah negeri.

Kalau berkaca kepadanya, semua poin tadi musnah. Sebab, apa yang dilakukannya sejauh ini sangat positif. Jika itu juga ditiru pustakawan lainnya, pasti cara pandang negatif tadi berubah. 

Profesi ini takkan lagi dipandang sebelah mata. Jadi pustakawan tak mesti statis. Ia mesti bisa melakukan banyak hal.

Kesatu, menulis resensi buku

Pustakawan yang kreatif bisa menulis. Salah satunya menulis resensi buku. Ia bisa memberikan timbangan atas buku yang sedang ramai diperbincangkan orang. 

Ia juga bisa meresume novel baru yang terbit. Ia bisa menulis apa saja berkenaan dengan dunia pustaka dan literasi.

Kalau aktivitas menulisnya konsisten, pustakawan akan punya nilai tambah. Ini lebih baik ketimbang tidak ada karya sama sekali. 

Meski tidak ada di tugas pokok dan fungsi pustakawan, itu adalah keterampilan yang berguna. Minimal untuk si pustakawan sendiri.

Kedua, menaja diskusi buku

Kreativitas lain bisa dengan menaja diskusi buku atau bedah buku. Diskusi buku tak mesti formal dengan persiapan yang mesti matang sampai hal yang teknis. Misalnya ada buku baru dan kita ada kenalan untuk membedahnya, silakan dilakukan.

Selain menarik minat warga untuk datang ke perpustakaan, cara ini juga penting untuk memantik diskusi. 

Literasi yang selama ini digaungkan akan menemui momentum yang pas. Diskusi buku akan memantik orang untuk suka baca. 

Barangkali ada orang yang selama ini tak suka buku. Dengan diskusi buku yang menaril, bisa saja ia ke depan punya kebiasaan membaca. Ini lebih baik ketimbang merutuki tugas yang berkutat dengan ribuan buku di dalam perpustakaan.

Ketiga, menggelar lomba kepenulisan

Satu yang bisa dilakukan juga mengadakan lomba kepenulisan. Misalnya bikin lomba meresensi buku terkait Hari Ibu. Bukunya bisa apa saja yang penting terkait hari ini. 

Koordinasikan ke pihak sekolah untuk siapkan hadiah menarik. Tidak mesti uang tunai. Yang penting ada semarak sehingga orang tertarik.

Ini akan mendekatkan pustakawan dengan orang di luar lembaganya. Ini juga berguna untuk membangun relasi dengan orang lain.

Lomba semacam ini pasti banyak peminat. Asal informasinya masif dan menyentuh komunitas-komunitas literasi, pasti banyak yang mau ikutan.

Keempat, menginisiasi pelatihan kepenulisan

Pustakawan bisa juga mengadakan kegiatan pelatihan kepenulisan. Siswa diajak serta untuk ikut. Undang penulis untuk mau memberikan materi yang menarik kepada siswa. Dengan begitu, ada pemantik orang mau datang ke perpustakaan yang tidak melulu urusannya membaca.

Dengan diadakan pelatihan, pasti banyak yang tertarik. Mereka yang belum punya hobi menulis, setidaknya dikenalkan. 

Yang sudah ada talenta, makin terasah. Yang sudah biasa, akan semakin mahir. Publik pasti juga salut bahwa pustakawan mampu menginisiasi acara yang berguna semacam itu.

Kelima, aktif kerja sama pojok baca

Pustakawan juga bisa melakukan kerja sama dengan pengelola taman baca masyarakat. Misalnya sekali dalam sebulan bikin kegiatan bareng. Biasanya akhir pekan. 

Mungkin bisa membawa beberapa koleksi perpustakaan di Car Free Day atau alun-alun kota. Di sana selain menggelar lapak bacaan, juga bisa diadakan kegiatan mendongeng atau menceritakan profil penulis terkenal.

Pengelola taman baca pasti akan senang bisa bekerja sama. Kerja sama akan mendapatkan hasil maksimal ketimbang dikerjakan sendiri. Budaya literasi akan makin bisa dipatrikan jika semua elemen masyarakat kerja sama.

Keenam, literasi di media sosial

Pustakawan juga bisa mengisi waktunya dengan aktif di media sosial. Kontennya tentu saja tak jauh-jauh dari literasi, buku, dan sebagainya. Instagram dan Tiktok bisa dipakai. Bisa mencuplik satu halaman sebuah novel untuk dibacakan.

Pengarang kenamaan Indonesia, Helvy Tiana Rosa, yang juga dosen, saban pertemuan kasih tugas ke mahasiswa. Setiap mahasiswa wajib menghafal satu larik narasi dari buku yang mereka baca. 

Tidak panjang-panjang. Paling satu alinea atau bahkan dua kalimat. Cara ini mendekatkan mahasiswa pada sastra, pada literasi, pada kesukaan dan kebiasaan menbaca.

Ini juga bisa dilakukan di media sosial. Pustakawan bisa membacakan beberapa baris isi buku yang sedang tren. Ini untuk memancing minat warganet untuk suka membaca.

Semoga dengan usulan ini, ke depan tidak lagi dipandang sebelah mata lagi profesi pustakawan. Justru ini profesi yang strategis. 

Kebayang kan, ada pustakawan keren? Saban hari menulis di media sosial, bikin konten TikTok dengan narasi sastra, dan setiap bulan bikin ajang penulisan. Belum lagi sering tampil untuk memberikan materi kepenulisan.

Kalau sudah begitu, mana bisa dipandang lagi sebelah mata. Memangnya bajak laut, hanya punya sebelah mata. Terima kasih sudah membaca dengan saksama dan dalam tempo yang lumayan lama. [Adian Saputra]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun