Parahnya, tulisan itu ternyata menjiplak tulisan seorang penulis lain di media yang lain. Entah politikus ini yang tidak saksama atau ghost writer-nya yang enggak mau kerja keras. Walhasil, sempat ramai juga kala itu.
Kebanyakan setahu saya, banyak politikus meminta jasa seseorang untuk menulis di media massa. Ia ingin publik kenal dengan namanya. Menjelang Ramadan seperti ini, ada saja yang demikian.
Saat masa koran berjaya, ada pula yang demikian. Politikus meminta dituliskan soal isu tertentu kepada penulis bayangan.Â
Orang koran tahunya yang menulis itu ya si politikus itu. Meski demikian, pasti ada saja yang membaca dengan saksama kalau karya itu tak mungkin lahir dari isi otak seorang politikus. Itu pasti dibikinkan tenaga ahli atau penulis ahlinya.
Sekarang mari kita elaborasi. Apakah penulis bayangan ini sama dengan joki? Bagaimana hukumnya jika memang penulis bayangan ini joki.Â
Sebab, secara kadar pekerjaan, ia sama seperti joki. Tidak mungkin kan orang cerita kalau karya ilmiah itu hasil perjokian? Pasti juga nama joki tidak mau diketahui. Apalagi kalau karena ihwal karya itu menjadi masalah di kemudian hari.
Apa beda dengan penulis bayangan? Secara prinsip kerjaan, bagi saya sama saja. Ini pekerjaan jasa membuatkan karya orang dengan hasil olah pikiran sendiri. Ia bekerja memang disuruh orang. Ia terima duit hasil pekerjaannya itu.
Pendek kata, bagi saya, secara prinsip pekerjaan, dia sama. Sama-sama menjoki juga. Namun, jika dilihat dari pengalaman beberapa kenalan selama ini, penulis bayangan jarang masuk ke ranah akademik.
Dugaan saya, hanya sedikit mereka yang bekerja sebagai penulis bayangan yang juga menggarap skripsi, tesis, disertasi, dan tulisan ilmiah ke jurnal ketimbang buku dan artikel untuk media massa.
Dalam redaksi lain, kita bisa bilang, penulis bayangan melulu bekerja pada ranah karya untuk media massa. Persoalannya sekarang, apakah karya yang demikian dalam konteks jurnalisme, dibenarkan?
Kalau ukuran media massa atau karya jurnalistik itu simpel kok. Kejujuran itu yang penting.Â