Di kantor saya yang lama, saya dengar cerita, karena saya tahun ini belum masuk kerja, tahun 1999 kala pemilu, ada karyawan maju menjadi caleg. Ia terpilih pada pemilu 1999 itu.Â
Kantor janji, nanti kalau pemilu berikutnya tidak terpilih lagi, bisa masuk kerja normal. Jabatan pun masih dipersiapkan.
Benar saja. Setelah lima tahun menjadi anggota dewan, karyawan senior ini tak terpilih untuk pemilu 2004.Â
Ia akhirnya balik kantor. Ia masih bisa kerja, tetapi jabatannya mesti turun selevel. Ia tak masalah.
Nah, di tahun 2004 itu juga, ada karyawan yang maju caleg itu. Tapi, keputusan kantor sudah berubah.Â
Untuk tahun 2004, jika ada karyawan yang jadi caleg, mesti langsung mundur. Sebetulnya kasihan juga. Iya kalau terpilih. Kalau tidak, bagaimana?
Kalau saya, punya pemikiran, biarlah karyawan ini menjadi caleg dulu. Supaya tidak ada konflik kepentingan, ia bisa diistirahatkan dulu.Â
Posisinya bisa diisi yang lain. Konsekuensinya ia tak menerima gaji selama ia cuti.
Kalau ia terpilih, kantor kan juga bangga. Pasti karyawan yang terpilih tadi juga demikian.Â
Ia tidak akan melupakan kebesaran hati manajemen kantor yang sudah memberikan kesempatan kepadanya untuk menjadi wakil rakyat.
Di perusahaan lain, sebuah minimarket terkenal, ada karyawan yang memang sengaja dipersiapkan untuk menjadi wakil rakyat. Perusahaan ini biasanya hanya mendukung saja orang yang kenal dan datang kemudian minta dukungan.
Mungkin pikir manajemen perusahaan atau bosnya, buat apa selama ini memberikan suara dan bantuan kepada mereka yang tidak ada kaitan sama korporasi. Ketimbang mendukung orang lain, lebih baik memberikan kesempatan dan suara serta bantuan finansial kepada karyawan yang dinilai punya potensi.
Pada pemilu 2019, ada yang seperti ini. Hasilnya juga bagus. Karyawan senior yang diusung penuh kantor, terpilih menjadi legislator di tingkat provinsi.
Ada kecenderungan sekarang, perusahaan berusaha memasukkan orangnya ke dalam legislatif. Namanya perusahaan, tujuan utama kan mencari keuntungan.Â
Maksudnya, jika ada karyawannya yang menjadi anggota dewan atau bahkan menduduki kursi eksekutif, kepentingan perusahaan bisa diamankan. Dalam arti, mungkin dari sisi izin usaha untuk pengembangan korporasi, ada yang mengawal.
Ketimbang memercayakan ini kepada orang lain, lebih baik kepada karyawan sendiri. Karyawan juga senang karena dia menuju kursi legislatif dengan dukungan penuh.
Perusahaan juga senang ada yang bisa dititipi kepentingan supaya perusahaan makin berkembang.
Perusahaan besar biasanya kalau mendekati pemilu pasti didatangi banyak orang. Tentu permohonan bantuan baik dana maupun suara dari politikus. Karena keseringan, mungkin perusahaan juga mangkel.
Manajemen lantas berpikir, daripada saban pemilu memberikan dukungan kepada orang lain, lebih baik dukungan diberikan kepada karyawan sendiri. Tentu dipilih yang memang memenuhi syarat.
Dalam konteks ini, saya meyakini, memberikan cuti adalah langkah yang paling bijaksana. Apakah karyawan ini maju mendiri tanpa dukungan penuh kantor atau memang ia sengaja dipersiapkan perusahaan untuk nyaleg.
Setidaknya, kalaupun tidak terpilih, masih ada kesempatan untuk bekerja lagi. Nanti lima tahun lagi persiapkan yang matang.Â
Jika manajemen masih mengusung, tahun berikutnya kans terpilih lebih besar. Kan sudah ada pengalaman?
Bagaimana dengan Anda? Minat menjadi caleg lewat kekuatan sendiri? Atau mau maju dengan sokongan penuh perusahaan tentu dengan "imbal jasa" yang pantas? [Adian Saputra]
Foto pinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H