suku Baduy Dalam di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Desember 2021 yang lampau, saya diajak kunjungan kerja anggota DPD RI asal Lampung Abdul Hakim. Selain napak tilas ke kampung halaman dia di Pandeglang, Banten, untuk keperluan biografi, kami pun diajak berwisata. Salah satunya ke perkampunganDari batas terakhir kami memarkirkan mobil ke dalam kampung Baduy Dalam ini mungkin kurang lebih tiga kilometer. Soalnya mesti jalan kaki ke sana.
Sepanjang perjalanan, alam tampak indah dinikmati. Karena terus menanjak, kami bisa melihat pemandangan mengagumkan ke bawah dan sekitarnya.
Kami ditemani salah seorang warga Baduy Dalam. Ia mewanti-wanti supaya kami tidak mengaktifkan alat telekomunikasi.Â
Ponsel mesti dalam kondisi mati. Namun, sebelum mencapai kampung yang dimaksud, saya masih mengabadikan suasana dengan ponsel.
Termasuk saat kami melewati satu jembatan yang luar biasa kokoh dengan artistik tinggi. Semua bahan baku jembatan adalah kayu.Â
Pengikatnya bukan pakai paku melainkan tali dari tetumbuhan dan akar tanaman. Ikatan yang kuat. Saya melihat saksama ikatan di tiap buhul kayu yang tersambung satu dan lainnya.
Kokoh sekali jembatan ini. Karena keren, banyak yang mengabadikan diri di spot ini.Â
Rupanya jalan menuju kampung Baduy Dalam juga spot indah untuk mengisi konten di akun media sosial. Â Saya dan teman beberapa kali bergantian untuk minta foto di sini.
Abdul Hakim mencoba melobi warga untuk bisa ketemu pimpinan Baduy Dalam yang biasa disapa Pu'un. Kata penunjuk jalan kami tadi, tidak bisa bertemu Pu'un kalau bukan sesuatu yang mahapenting.Â
Bapak Baduy Dalam itu bilang, Pu'un hanya bisa ditemui kalau kita punya hajat yang penting sekali atau urusan keadatan. Di luar itu, hanya bisa bertemu dengan para wakil dan orang yang biasa ditunjuk untuk bertemu dengan tamu.
Abdul Hakim bilang dia bekerja sebagai wakil rakyat dari Senayan dan mau menyampaikan kunjungan dia ke Presiden Joko Widodo. Orang tadi tetap menggeleng.
Usai berjalan kurang lebih setengah jam, kami tiba di dalam perkampungan suku Baduy Dalam. Ponsel dalam posisi mati.
Kami diterima di sebuah rumah milik tokoh suku Baduy Dalam. Â Semua peralatan di dalamnya sangat sederhana. Pakaian mereka pun sebagaimana sering kita sering lihat di media massa.
Kami dijamu dengan air putih dan gula aren. Saya mengambil sedikit saja.Â
Obrolan demi obrolan berlangsung hangat. Kami mencoba lagi "melobi" agar bisa ketemu Pu'un. Tetua adat sambil senyum bilang tidak bisa.
Abdul Hakim etnik Sunda, sama dengan saya dari garis Ibu juga orang Sunda asal Pandeglang, Banten. Pembicaraan kami selanjutnya pakai bahasa Sunda. Makin akrab dan terus mengalir sepanjang sejam pembicaraan.
Kami diberi tahu bahwa suku Baduy Dalam sangat menghormati alam. Mereka hanya bertani sebagai penghidupan utama.Â
Pohon-pohon besar tampak melingkupi suasana kampung. Rongga paru-paru terasa segar saban menghirup udara dalam-dalam.
Suasananya hening sekali. Benar-benar cocok buat yang mau melepas penat dan hidup tanpa gawai apalagi media sosial. Sungai pun bersih.
Anak-anak mereka berpakaian sederhana. Tanpa alas kaki, mereka saban hari berjalan berkilo-kilometer.Â
Tetua adat di sini juga mengerti sedikit-sedikit soal negara. Dia tahu sekarang presiden namanya Jokowi.Â
Dulu presidennya SBY. Tetua ini bilang ia pernah jalan kaki ke Cikeas untuk ketemu SBY.
Kami tanya, bagaimana bisa menemukan Cikeas dengan jalan kaki saja. Dia jawab ya mudah saja.Â
Tinggal jalan, ikuti petunjuk alam, sesekali bertanya arah Cikeas, dan ujungnya sampai juga.
Dia juga bilang beberapa tokoh pernah datang kemari. Namun, soal kehidupan politik, suku Baduy Dalam tidak mengikuti. Mereka tidak mencoblos.
Jika ada yang sakit, tetua adat saja yang mencoba menyembuhkan. Mereka tidak ke dokter.Â
Namun, sepengamatan saya, mereka tampak tegap, sehat, dan berisi tubuhnya. Mungkin karena saban hari makan makanan yang alami dan rajin jalan kaki.
Saya terkesan dengan kesungguhan mereka merawat alam. Mereka yakin tanpa menebang pun mereka bisa hidup.Â
Ada banyak kayu yang bisa digunakan untuk mereka setiap hari. Baik untuk memasak maupun membuat kediaman.
Usai berbincang banyak, kami pamit. Abdul Hakim menyelipkan amplop berisi uang sebagai tanda kasih kepada suku Baduy Dalam. Ia pamit. Kami kembali berjalan pulang.
Karena hajat sudah tersampaikan, kami jalan lebih santai. Saya bisa menghirup udara dalam-dalam saat jalan pulang.Â
Langkah kaki diperlahankan demi melihat kemahabesaran Allah swt dalam menciptakan semesta ini. Suku Baduy Dalam mengajarkan hal esensial untuk kita dalam arif terhadap alam dan lingkungan sekitar.Â
Sebuah potret hidup penuh kesederhanaan nan membahagiakan. Terima kasih sudah membaca secara saksama. [Adian Saputra]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H