Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Argumentasi Kuat Mengapa Sarjana Komunikasi Bagus Jadi Jurnalis Dulu Sebelum PR

31 Januari 2023   11:48 Diperbarui: 31 Januari 2023   11:55 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jurnalis melakukan wawancara. Dokumentasi Pribadi

Lima tahun saya mengajar mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Raden Intan Lampung. Saya tanya-tanya mereka, banyak yang ingin bekerja sebagai juru bicara atau public relation (PR) kantor atau perusahaan besar.

Mereka ingin menjadi PR yang setiap hari tampil wangi, dandy, necis, rapi jali, dengan gaji yang besar. Sudah terbayang di benak mereka saban hari mengatur pertemuan dengan banyak pihak. 

Salah satunya mengagendakan konferensi pers di kantornya. Mungkin saat peluncuran produk baru perusahaan, atau sekadar silaturahmi biasa saja dengan insan media.

Saya menganjurkan kepada mereka untuk merasakan dulu bagaimana jurnalis bekerja di lapangan sebelum menjadi PR. Mengapa demikian? Tujuannya biar mereka mengetahui seluk beluk dunia jurnalisme dengan baik dahulu.

Saya menilai jurnalisme bisa menjadi basis mereka dalam bekerja di bidang lain di masa depan. Jurnalisme mengajarkan kepada kita untuk gigih dalam mendapatkan informasi yang tepercaya. 

Jurnalisme mengharuskan kita mendapatkan informasi sahih untuk kemudian diteruskan kepada khalayak. Jurnalisme juga mengajarkan untuk mendapatkan hal yang baru, penting, dan menarik dalam setiap konten liputan. 

Dan jurnalisme mengajarkan kita benar-benar melakukan verifikasi yang ketat sebelum meyakini informasi dan menuliskannya untuk pembaca.

Yang juga penting, dengan berbekal pengalaman menjadi jurnalis, mereka bisa mengetahui pola relasi dengan orang lain.

Musabab lain, kerja jurnalis ini seratus delapan puluh derajat berbeda dengan PR. Jurnalis mencari hal yang menjadi masalah di masyarakat kemudian menelitinya dan menuliskannya. 

Dengan harapan, problem kemasyarakatan yang ia tulis bisa terpecahkan. Bisa juga mengetuk pintu ruang-ruang pejabat publik dalam membuat keputusan dan lainnya.

Salah seorang yang menjalani pekerjaan sebagai jurnalis kemudian menjadi PR adalah Wianda Pusponegoro. Dikutip dari Kompas.com, Wianda Pusponegoro merupakan mantan awak media yang kemudian berkarier di korporasi.

Perempuan kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 5 Januari 1977 ini pernah berkarya di Metro TV dan RCTI. Di Metro TV, Wianda pernah membawakan acara Bisnis Hari Ini, Indonesia Solutions, dan Editorial Malam serta program Policy Makers bersama narasumber tetap Wakil Presiden RI saat itu Jusuf Kalla.

Lulusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia ini kemudian memilih bergabung dengan Pertamina sejak Oktober 2008. Terakhir, dia menjabat sebagai VP Corporate Communication yang bertugas melaksanakan berbagai publikasi dan pembinaan hubungan eksternal maupun internal di Pertamina.

Saya tadi bilang pekerjaan jurnalis dan PR itu berbeda sekali. Kalau konteks jurnalisme adalah menghasilkan karya yang kritis untuk kemaslahatan masyarakat, PR cukup berbeda.

Juru bicara perusahaan akan menjelaskan segala sesuatu yang positif tentang apa yang ada di kantornya. Ia akan berusaha memoles citra lembaganya dengan baik. 

Jika ada masalah, juru bicara perusahaan umumnya menjadi narasumber utama wartawan.

Misalnya ada kelangkaan bahan bakar minyak. Ketika terjadi kelangkaan, jurnalis pasti meminta juga keterangan dari Pertamina, bagaimana hal ini bisa terjadi. Bagaimana pola distribusi sehingga bahan bakar minyak langka. Dan berapa lama kelangkaan ini sampai bisa dituntaskan.

Jurnalis bekerja mewakili warga. Sedangkan juru bicara perusahaan bicara mengenai entitasnya. 

Sebab itu, juru bicara perusahaan akan menjelaskan dengan gamblang apa yang terjadi sembari memberikan penekanan bahwa situasi baik-baik saja dan kejadian itu segera bisa diatasi.

Seorang juru bicara perusahaan bekerja dan digaji untuk menyampaikan poin-poin positif tentang produk perusahaannya. Ia akan menjalin relasi dengan jurnalis agar nama baik perusahaan bisa tetap terjaga di masyarakat.

Sudah tentu ia tidak berkeinginan ada berita jelek mengenai perusahaan tempatnya bekerja. Juru bicara perusahaan tentu ingin segalanya berjalan baik-baik saja. 

Namun, jika ada masalah, dan bertemu dengan jurnalis, ia mesti siap menghadapinya. Bagaimana kiat menghadapai wartawan. 

Bagaimana penyikapan terhadap sesuatu yang urgen di masyarakat dan menjadi penekanan liputan si wartawan. Juru bicara perusahaan mesti sigap menghadapi itu.

Korelasinya adalah jika PR tadi sudah mempunyai pengalaman lapangan yang cukup saat menjadi jurnalis, ia bisa memahami bagaimana jurnalis bekerja. Ia juga bisa menjalani relasi dengan wartawan dengan baik. 

Termasuk jika ada masalah dan perusahaannya sedang jadi sorotan, ia bisa memahami dan menyikapi dengan baik.

Tentu PR tidak serta merta ingin kabar jelek yang sedang mendera kantornya bakal ditulis baik-baik saja oleh jurnalis karena ada kedekatan itu. Tentu tidak demikian. 

Juru bicara perusahaan berusaha memberikan klarifikasi, jawaban, atensi yang memuaskan kepada jurnalis. Dengan demikian, kabar dari lapangan bisa diverifikasi kepada pihak yang sedang jadi "tertuduh". 

Dan dalam konteks ini, juru bicara perusahaan punya peran penting.

Lazimnya juga, jika sudah ada kasus besar dan menjadi pengetahuan publik, perusahaan juga tidak lantas menolak semua kabar itu. Jika sebagian memang bisa diverifikasi di lapangan dan riil, PR akan menjawab sebagaimana arahan atasannya.

PR yang pernah memiliki pengalaman lapangan yang lumayan sebagai jurnalis, pasti bisa menempatkan diri dengan baik. Kedekatannya dengan insan pers bisa "dimanfaatkannya" untuk lebih meyakinkan jurnalis agar percaya dengan informasi dari perusahaan.

Meski demikian, dalam ranah jurnalisme, tentu jurnalis akan tetap independen dalam memberitakan. Meski kenal dengan PR dan pernah liputan bareng, jika memang ada hal yang patut dipertanyakan, ia akan kejar itu dan menjaga independensi. 

Kawan sih kawan, tapi pekerjaan untuk mewartakan hak publik di atas segalanya.

Penjelasan ini sering saya sampaikan di kelas sehingga menimbulkan minat mahasiswa usai lulus atau sebelum lulus bekerja sebagai jurnalis. Tentu bekerja yang baik dan totalitas. 

Andaipun jurnalis jadi pilihan hidup dan bukan sekadar injakan menuju pekerjaan PR, juga tidak apa-apa.

Saya sekadar ingin mereka punya idealisme yang mencukupi kala bekerja sebagai jurnalis. Soal nanti mereka bekerja di tempat lain, mungkin PR di sebuah perusahaan, sekolah, kampus, atau ASN, itu soal lain. 

Yang penting, mereka sudah menghirup ketatnya pekerjaan meraih informasi dan mewartakannya kepada publik. Terima kasih sudah membaca dengan saksama. [Adian Saputra]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun