Meringkas kata memang lebih enak karena cenderung lebih singkat. Tidak hanya dari diksi tertentu saja.Â
Nama orang saja kita senang benar memberikan akronim atau singkatan. Saya merasainya saat tahun 2004.Â
Ini saat Susilo Bambang Yudhoyono mulai sering ada di televisi. Media massa kita kemudian akrab menyapanya SBY ketimbang menulis Bambang atau Yudhoyono.Â
Saya tak tahu pasti apakah waktu itu ada keberatan dari Yudhoyono namanya kok jadi SBY. Ini singkatan ya karena tiap huruf ada kepanjangannya.
Ini menurun kepada anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono, yang lebih suka disingkat AHY ketimbang Agus. Duh, duh, duh.
Di dunia sepak bola juga demikian. Bambang Pamungkas awalnya disingkat BP tapi kemudian ia lebih suka dengan akronim "Bepe". Pelatih Rahmad Darmawan yang kelahiran Punggur, Lampung Tengah, pun disingkat RD.
Pelatih timnas kita sekarang juga demikian. Ayah dan ibunya memberi nama Shin Tae Yong. Tapi media massa dan publik bola kita lebih gemar menyebutnya STY alih-alih menggunakan Shin atau Tae Yong sebagai referensi kedua.
Taruhlah soal nama orang ini, masih bisa ditoleransi selama tak ada keberatan dari si empunya nama. Yang mesti kita jaga sebetulnya kosakata yang sudah baku yang menjadi marwah bahasa kita.Â
Saya tetap mengusulkan supaya kita, termasuk media massa, istikamah dengan "promosi" dan "restoran". Jangan malah ini kejadian mirip "kafe" hasil pemangkasan dari "kafetaria".
Bahasa itu kita yang ujarkan, kita yang tuliskan, kita yang promosikan, kita yang sosialisasikan. Kalau kita sebagai warga negara tidak cakap menggunakannya, bagaimana kita hendak merawat alat ujar persatuan bangsa kita.Â
Padahal bahasa adalah satu dari tiga isi Sumpah Pemuda tahun 1928 silam. Mari kita rawat bahasa dengan baik.Â