Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Argumentasi Kuat Mengapa Ranking Tetap Perlu Ditulis di Rapor

5 Januari 2023   12:16 Diperbarui: 8 Januari 2023   21:55 1477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang waktu itu juga sudah ada kesadaran bahwa melihat pintar itu tak hanya dari ranking di rapor. Ada kekhususan kepada seseorang terhadap minat dan bakatnya. 

Wah, saya setuju banget ini. Alasan bagi orang yang tak pernah dapat ranking bagus ya begini, hahaha.

Beberapa tahun belakangan, banyak sekolah yang meniadakan ranking dalam rapor. Di tempat sekolah anak saya masih ada pemeringkatan dalam rapor. 

Tapi di beberapa sekolah sudah tidak ada. Rapor hanya berisi nilai dan narasi bikinan guru terhadap prestasi siswa.

Karena marak, akhirnya kini orangtua tak lazim lagi bertanya kepada anak atau anak tetangganya, ranking berapa di rapornya? Nyaris sudah jarang dengar.

Bagi saya, sebetulnya, ranking itu masih perlu. Alasan saya begini. Saya setuju kok dengan ukuran kecerdasan yang tidak hanya dilihat dari nilai akademik. Sering kan dengar begini?

Seorang anak yang piawai renang dan menjatuhkan pilihan menjadi perenang nasional, tidak penting kok dia belajar matematika, fisika, kimia, biologi, dan sebagainya. 

Anak yang sejak kecil sudah menunjukkan talenta dalam bermain bola, difokuskan saja ke sana. Ia barangkali tidak lagi memerlukan pelajaran lain sebagai alat ukur kecerdasannya.

Anak yang suka melukis dan menjatuhkan pilihan pada seni, juga tak mesti digeber amat untuk pelajaran lain. Dan sebagainya dan sebagainya. Saya cocok di sini. Setuju sekali.

Sekarang mari kita balik. Bagaimana dengan anak yang secara fisik dia lemah dan tak suka olahraga. 

Ia juga tak menggemari kesenian semacam menari, melukis, membuat puisi, dan lainnya. Bagaimana dengan anak yang kecenderungannya memang pendiam dan tak banyak kawan. Ia bukan sombong tapi memang tipikalnya demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun