Saya lulus sekolah dasar tahun 1991. Masa itu masih ada penulisan ranking atau peringkat di rapor.Â
Karena ada ranking, kami bisa saling lihat satu dan lain. Saling membandingkan. Tidak ada yang melakukan perundungan. Tapi bagi yang sudah akrab betul, kadang jadi bahan candaan.
Di sekolah dasar ini saya hanya berkutat di 30 besar dari 40-an siswa. Saingan berat-berat.Â
SDN 2 Rawalaut (Teladan) tempat saya sekolah adalah sekolah bagus. Siswanya pintar-pintar. Gizinya bagus-bagus. Asal tak juru kunci saja sudah alhamdulillah.
Waktu SMP juga demikian. Dua pertiga kawan-kawan dari SD tadi masuk ke SMPN 2 Tanjungkarang. Saya makin sulit bersaing. Pelajaran sudah mulai susah.Â
Mulai ada fisika, kimia, dan biologi. Matematika bikin kepala pening. Alhasil prestasi di pemeringkatan di rapor masih tak berubah. Targetnya asal tidak paling bawah.
Masuk SMA juga sami mawon. SMAN 2 Tanjungkarang adalah sekolah berkelas. Dua pertiga kawan-kawan dari SMP tadi masuk ke sini.Â
Makin runyam urusan belajar. Makin tak mungkin masuk 10 besar. Target sudah pas dan masih sama, asal tidak paling buncit.
Syukur alhamdulillah, bergaul dengan orang-orang pintar bikin saya biasa berkompetisi. Meski tahu isi otak dan intelektualitas rada payah, saya berusaha maksimal dalam belajar. Kalau hasilnya belum, memuaskan, ya jangan salahkan siapa-siapa.
Dulu ukuran pintar di akademik memang hanya lihat nilai rapor. Pasalnya, itulah satu-satunya alat ukur untuk tahu seberapa besar tingkat penyerapan pelajaran di kelas.