Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jurnalisme Lapis Legit

4 Januari 2023   08:04 Diperbarui: 4 Januari 2023   09:18 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bulan Ramadan tahun 2016. Saya hendak pulang kerja usai mengedit berita di portal yang waktu itu saya pimpin. Waktu sudah menunjukkan jam setengah tiga dini hari. Perjalanan saya menuju rumah berhenti di depan Masjid Baabussalam, Jalan Teuku Umar, Bandar Lampung.

Warga ramai di seberang. Rupanya ada kecelakaan. Sebuah mobil sedan mewah kecelakaan tunggal. Bagian depan ringsek. Entah ada korban jiwa atau tidak. Saya sebetulnya bisa saja pulang. Sudah capek. Tapi ada kejadian di depan mata. Saya telepon reporter supaya segera ke lokasi. Saya bilang kepadanya, tolong ke lokasi dan bikin berita sebanyak-banyaknya. Saya balik kantor.

Usai di kantor, komputer kembali dioperasikan. Satu buah berita yang dikirim reporter lewat surat elektronik (surel) sudah masuk. Beritanya ringkas. Isi berita cerita soal kecelakaan lalu lintas. Yang tertera dalam berita tentu masih terbatas karena berita awalan. Karena masih hangat saya imbuhkan di depan judul "breaking news". Seingat saya hanya media kami yang menaikkan berita itu kala dini hari. Namanya juga jelang sahur.

Berita pertama lekas disambar pembaca. Saya menyebarluaskan juga di Facebook dan status WhasApp. Karena breaking news alias warta semerta, data yang dikemukakan belum banyak. Baru sebatas kejadian, lokasinya, pelat kendaraan, dan lainnya. Nama korban, kronologi kejadian, dan lainnya masih mau diungkap dengan melakukan wawancara ke beberapa pihak.

Apakah berita pertama yang naik itu sudah benar? Benar. Sebab, dia faktual. Apakah reporter selesai melakukan tugas? Belum. Ia mesti mencari kebenaran faktual lain dari peristiwa ini.

Saya menunggu laporan reporter sembari mengirim pesan WhatsApp untuk mencari identitas pemilik kendaraan dan kronologi kejadian. Setengah jam kemudian berita baru dikirim. Isinya kesaksian warga setempat bagaimana sedan keren nan baru itu bisa kecelakaan, menabrak tiang listrik saking kencangnya melaju.

Sepuluh menit mengedit, berita kedua naik. Kebenaran faktual dalam jurnalisme kembali diketengahkan. Kebenaran faktual ini nomor urut 1 dari 9 elemen jurnalisme yang dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme.

Buku ini sering disebut sebagai kitab suci bagi para jurnalis dalam melakukan kerja jurnalistiknya. Tapi ini hanya sebutan ya. Bukan berarti kitab suci ini menggantikan beberapa kita suci agama yang sudah ada sebelumnya. Tolong jangan kelewat serius, hahaha.

Setengah jam berikutnya, berita baru dikirim lagi dari lapangan. Kali ini angle-nya lumayan menarik. Si empunya sedan mewah ini anak dari pengusaha nasi uduk terkenal di Lampung. Maka, angle ini kemudian menginspirasi menjadi judul dan bagian awal berita yang ke-3 ini. Berita yang ketiga ini melengkapi kebenaran-kebenaran yang sudah ditulis pada kesatu dan kedua.

Pembaca makin luas informasinya mengenai kejadian kecelakaan ini. Berita kesatu yang breaking news tadi dan berita ketiga soal siapa pemilik sedan mewah yang kecelakaan ini paling banyak dibaca kala itu. Kami tertolong karena jamnya mendekati waktu sahur. Orang mungkin sudah ramai di media sosial soal kecelakaan di depan Masjid Baabussalam Jalan Teuku Umar Bandar Lampung itu. Warganet kemudian mencari-cari informasi yang sahih di media daring arus utama dan ketemulah berita itu di web kami.

Begitulah kebenaran faktual dalam jurnalisme itu dibentuk dari satu berita ke berita lain. Dari satu lapisan ke lapisan lain. Entah berapa lapis. Itulah sebabnya sekarang kita membaca di berita daring, ada beragam angle dari satu peristiwa. Yang paling mudah saja misalnya sepak bola.

Waktu Indonesia bertanding dengan Thailand di penyisihan grup, semua media massa arus utama memberikan peliputan. Berita pertandingan itu tidak satu saja dibuat reporter atau editornya. Berita soal pertandingan itu bisa dipecah menjadi banyak angle.

Ketika ada gol perdana, semua media massa berlomba-lomba menaiksiarkan berita soal itu. Ketika pemain Thailand ada yang mendapat kartu merah, media massa juga langsung memberitakan. Ketika Indonesia kebobolan dalam posisi unggul jumlah pemain, beritanya sebentar juga sudah terbit. Tak lama peluit panjang dibunyikan wasit, berita juga tak lama muncul. Informasi yang kita dapati berlapis-lapis.

Dulu, belum marak zaman media daring dan media sosial, andalan kita koran. Tahun 2002 saat Piala Dunia digelar di Jepang dan Korea Selatan, saban hari beli koran saking pengen tahu perkembangan Piala Dunia. Hasil pertandingan menjadi informasi yang menarik. Demikian juga ulasan para pakar soal pertandingan dan pemain yang mencuat kala itu. Informasi yang sarat dengan kebenaran sebagai ciri khas jurnalisme itu muncul berlapis-lapis. Tidak diketengahkan dalam satu edisi koran.

Sekarang juga sama. Bedanya hanya medianya saja. Kini orang bergantung pada media daring. Informasi soal sidang Sambo masih terus berjalan. Publik disajikan dengan kebenaran faktual yang berlapis-lapis.

Jurnalisme itu mengetengahkan informasi yang benar. Ia dibentuk selapis demi selapis. Entah sampai kapan berita itu menjadi paripurna. Selama masih ada informasi terbaru. Kebenaran itu akan selalu menunggu lapisan berikutnya.

Mirip seperti ibu-ibu kita kalau membuat kue lapis legit. Bahannya lumayan banyak. Membuatnya lumayan lama. Menata lapisan kue lapis legit itu tidak gampang. Oleh karena itu, harganya juga mahal. Bahan bakunya juga berkelas kalau ingin kuenya enak.

Buat saya, jurnalisme ini ibarat kue lapis legit. Kue yang enak dan diminati banyak orang. Kue basah yang saban Idulfitri dan Natal acap terhidang di meja tamu kala kita bertandang.

Menata lapisan dalam kue lapis legit ini ibarat kita menata kebenaran faktual yang kita sajikan dalam karya jurnalistik. Ia akan terus dibentuk selapis demi selapis demi mendapatkan tingkat dan ukuran yang pas untuk disajikan. Tidak bisa baru selapis kemudian sudah diangkat dari oven kemudian dihidangkan. 

Bahkan kini ada juga variasi kue lapis legit yang bentuk lapisannya seperti dadu beraneka warna. Saya tak habis pikir bagaimana baker-baker itu membuat kue seenak dan semanis itu, baik citarasa maupun cara kita memandangnya.

Bagi saya, kebenaran dalam karya jurnalistik itu ibarat lapis legit yang dibentuk dari lapisan satu ke lapisan yang lain. Selamat menikmati lapis legit, eh. Bandar Lampung, Rabu, 4 Januari 2023. Salam hangat. [Adian Saputra]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun