Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Read The Whole, Edit Line by Line

3 Januari 2023   14:28 Diperbarui: 3 Januari 2023   14:37 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Tahun 2011 saya bersama beberapa teman redaksi Lampung Post dikirim kantor ke kantor redaksi Media Indonesia di Kedoya, Jakarta. Kantor Media Indonesia bersampingan dengan kantor besar MetroTV. Kantornya bagus sekali. Tampak megah dan sangat bersih. Ada masjid di depan untuk salat lima waktu dan jumatan.

Kami dikirim untuk berlatih soal penyuntingan atau editing. Dua begawan jurnalis menjadi mentor kami. Yang pertama Saur Hutabarat, yang kedua Laurens Tato. Bang Saur ini jurnalis senior. Suaranya menggelegar. Kalau tak biasa berbincang dengannya, bisa kita kira dia sedang marah karena artikulasi ujarannya kencang. Bang Saur ini eks wartawan Tempo. Puncak karier dia di Media Indonesia ini sebagai pemimpin redaksi.

Kami belajar editing dua harian. Tak hanya kami dari Lampung. Beberapa asisten redaktur dan redaktur Media Indonesia juga ikut serta. Saya juga bereuni sebentar dengan Ade Alawi, eks pemimpin redaksi Lampung Post yang balik kandang tugas ke Media Indonesia.

Intisari pelatihan agar kami bisa menyunting naskah dengan baik. Bang Saur jelaskan dari A sampai Z. soal kebahasaan ada begawan sendiri. Namanya Mas Donny Tjipnugroho, redaktur bahasa Media Indonesia. Dengan Mas Donny ini saya sudah kenal duluan karena waktu saya masih posisi di korektor bahasa sempat ketemu dia di Lampung. Waktu di Lampung, Donny kasih pelatihan juga soal kebahasaan. Alhasil dua minggu itu jurus editing makin meningkat.

Bang Saur bilang, kalau terima naskah berita atau artikel lain, tangan jangan gatal untuk langsung mengedit atau menyunting. Ia kasih saran untuk membaca utuh dulu sampai tuntas. Dari situ kita bisa tahu ke mana arah dan tujuan berita ini. Apa item yang kurang dari berita itu. Hal urgen apa yang bisa dijadikan angle atau topik utama tulisan. Dari situ kita juga bisa tahu mau kalimat mana duluan yang dibikin. Dengan suara menggelegar, Bang Saur bilang supaya read the whole, edit line by line. Maknanya, baca keseluruhan dulu, baru edit baris demi baris.

Wah, kami terperangah dengar lontaran kalimat itu. Memang sih kebiasaannya, begitu baca berita dari reporter atau tulisan opini dari kolumnis, jemari langsung melakukan penyuntingan. Tidak dibaca utuh terlebih dahulu. Sambil baca, sambil edit.

Memang benar, ada banyak manfaat ketika kita membaca naskah utuh terlebih dahulu tanpa direpotkan dengan langsung mengedit. Dengan membaca keseluruhan, kita bisa memahami intisari berita atau artikel.

Saya kira apa yang dikemukakan Bang Saur ini tak hanya manfaat untuk para redaktur atau editor. Buat para pembaca juga demikian. Maksudnya, jika kita membaca sebuah tulisan, bikinlah senyaman mungkin dan meresapi semua senarai yang disajikan penulisnya. Usai membaca, baru kita memahami intisari artikel ini apa. Usai itu, kita bisa melakukan penilaian bahwa kualitas tulisan itu begini dan begini, begitu dan begitu. Wabilkhusus untuk para editor, ini memang membantu sekali.

Menyunting itu memperbaiki naskah sehingga enak dibaca, pas sesuai pakem bahasa, dan mudah dipahami pembaca. Ringkas kata, menyunting adalah pekerjaan bikin naskah lebih enak dan dipahami pembaca. Titik.

Maka itu, yang dibenahi dalam konteks persuntingan ini lumayan banyak. Lihat judul, menarik tidak ketika dibaca lisan dan dirasa-rasa batin. Lead atau kalimat pertamanya senapas tidak dengan judulnya. Kalimatnya sudah tersusun apik tidak. Apakah pakem SPOK sudah diketengahkan untuk pembaca. Ada kalimat yang salah tidak. Penempatan huruf kapital sudah cocok belum. Penataan alinea sudah sip atau belum. Pengayaan kosakata supaya pembaca tidak bosan dengan diksi sudah dibikin belum. Dan lain-lain. Sekilas ribet memang. Banyak amat yang mesti dibenahi.

Bagaimana jika naskah yang kita mau sunting sudah oke. Sudah press claar istilahnya. Kalau sudah demikian adanya, ya tak perlu disunting habis-habisan. Poles saja tipis-tipis. Barang kalau sudah bagus ya bungkus. Jangan malah latah mau diedit akhirnya malah menghilangkan makna dan kekhasan si empunya tulisan.

Dalam spektrum yang luas, pelajaran soal read the whole edit line by line ini juga bermanfaat. Misalnya kalau kita ketemu dengan sebuah persoalan. Jangan lantas mudah melakukan sesuatu yang malah bikin blunder. Pahami saja dulu kejadian itu apa, apa masalahnya, seberat apa persoalan itu, dan lainnya. Intinya, dimaknai mendalam, baru kemudian disikapi.

Jadi, kalau nanti teman-teman Kompasianer dapat naskah yang dimintakan tolong diedit, jangan lupa pakai jurus dari Bang Saur ini. Baca utuh dulu, baru edit baris demi baris. Salam hangat dari Bandar Lampung, Selasa, 3 Januari 2023, pukul 13.52. [Adian Saputra]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun