Usai menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 2 Rawalaut, Bandar Lampung, tahun 1991, saya melanjutkan pendidikan ke SMPN 2 Tanjungkarang. SMP ini paling favorit di Bandar Lampung. Nilai yang masuk ke sini mesti besar. Dulu masuknya pakai nilai Ebtanas murni atau NEM. Yang usianya 40-an tahun jalan sekian, pasti paham bagaimana dulu sistem untuk masuk sekolah, hehehe.
Waktu masuk SD, saya sudah piawai membaca dan menulis. Maksudnya membaca buku dan menulis sederhana. Belum menjadi keterampilan khusus. Masuk SMP, saya mulai menulis. Medium utamanya majalah dinding. Alat utamanya mesin tik. Karena belajar mengetik saat SMP, saya lumayan piawai menggunakan sebelas jari, maksudnya telunjuk kiri dan kanan.
Di daerah Kikim, Lahat, Sumatera Selatan, ada anak seusia saya. Namanya Darwis. Ia juga sudah mulai suka membaca. Bahkan, bacaannya "berat" untuk ukuran anak seusia kami. Saya belum begitu berat-berat amat bacaannya. Karena ibu seorang guru sekolah dasar, setiap akhir pekan dia pinjam beberapa buku dari perpustakaan. Kebanyakan biografi. Seingat saya biografi Jenderal Ahmad Yani, Komodor Agustinus Adisucipto, Komodor Suryadarma, dan beberapa novel saya baca.
Darwis tadi saat di SMP-nya, sudah bisa bikin karya tulis yang ia kirim ke beberapa media massa cetak. Saat Darwis bisa menulis, saya belum sampai tahap ke sana. Isi otak saya rupanya beda kelas dengan Darwis ini.
Usai SMP, saya masuk SMAN 2 Bandar Lampung, tahun 1994. Lagi-lagi ini sekolah paling favorit di Lampung. Kelas II, saya bahkan sempat jadi ketua umum OSIS. Bangga sih, soalnya dari empat ratusan siswa, hanya saya yang ketua umum OSIS. Ya iya kali, masak iya ketua umum OSIS ada banyak.
Darwis hijrah ke Bandar Lampung usai menyelesaikan pendidikan SMP di Kikim, Lahat, Sumatera Selatan. Darwis masuk SMAN 9 Bandar Lampung. Ini nama baru sekolah ini. Saat tahun 1994 kami masuk SMA, sekolah ini masih bernama SMAN 5 Tanjungkarang.
Kesukaan menulis saya masih terjaga dengan acap menulis untuk majalah dinding. Sesekali saya menulis di majalah sekolah. Nama majalahnya Derap Pelajar yang diakronimkan dengan Deppel. Karena saya ketua OSIS, tulisan saya pasti masuklah, masak enggak, hahaha. Namun, kapasitas menulis saya baru sampai situ. Padahal pas SMA ini bahan bacaan banyak. Seingat saya kami di rumah masih berlangganan koran Lampung Post.
Darwis, di sekolahnya, kurang lebih berjarak lima kilometer dari sekolah saya, sudah lebih tinggi level menulisnya. Usia SMA itu ia sudah mampu menulis opini di Lampung Post. Orang Betawi bilang, eh busyet nih anak, masih SMA sudah bisa menulis dan dimuat di media lokal ternama. Padahal yang mengirim tulisan ke Lampung Post kala itu orang-orang hebat. Ada dosen, politisi, pejabat pemerintah, dan lainnya. Darwis sudah mampu menulis ini.Â
Soal Darwis mampu menulis di Lampung Post ini sebetulnya saya tahu sudah belakangan, saat saya di kampus. Beberapa kakak tingkat yang cerita, ada anak SMA rajin menulis ke Lampung Post. Anak yang dimaksud itu ya Darwis.
Benar-benar isi kepala dan cara pandang yang berbeda 360 derajat. Kala SMA saya baru sanggup menulis di majalah sekolah dan majalah dinding, Darwis sudah bisa menulis di Lampung Post. Levelnya memang dua kelas di atas saya nih anak, hahaha.
Usai SMA, saya masuk Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung (Unila). Darwis tembus Fakultas Ekonomi UI. Hmm, makin beda lagi kelasnya. Masuk UI itu setahu saya susah lho. Bahasanya itu, passing grade-nya tinggi. Entahlah kalau waktu itu saya juga coba UI sebagai pilihan kala UMPTN. Kayaknya sih enggak masuk juga, hehehe.
Kala di kampus inilah saya makin keranjingan menulis. Saya pilih aktif di pers mahasiswa fakultas. Namanya Pilar Ekonomi. Tahun 1999 tulisan opini saya masuk Lampung Post perdana kali. Saya juga menulis cerpen, cerita anak, esai, dan resensi buku. Nyaris semua di Lampung Post.
Darwis bagaimana? Ia masuk UI dan kelas menulisnya sudah beda. Ia menulis di media nasional semacam, Kompas, Tempo, Republika, dan lain-lain. Benar kan, beda kelas banget dengan saya. Darwis memang luar biasa.
Rekam jejak Darwis sebagai kolumnis makin kuat. Analisisnya tajam. Rasanya tiap kali ia mengirim tulisan ke media massa, semua redaktur menerimanya. Tiada yang menolak.
Tahun 2005 barulah namanya tenggelam. Orang tidak tahu lagi ke mana Darwis ini. Hingga tiba-tiba muncul sebuah novel keren Hafalan Sholat Delisa yang bagus itu. Darwis sudah mengubah nama penanya dengan Tere Liye. Tere Liye adalah sebuah lagu berbahasa India yang jadi soundtrack film "Veer-Zaara" yang dibintangi Shah Rukh Khan.
Demikian sampai dengan sekarang kita mengenal Tere Liye. Saya sudah lama mengetahui beliau ini memang menolak untuk dipublikasikan secara pribadi. Ia ingin orang kenal karyanya bukan Tere Liye atau Darwis-nya. Maka itu, kalau ada acara gelar wicara soal kepenulisan, penggemar Tere Liye sulit mau foto bareng. Paling banter saat Tere Liye menandatangani buku, kita bisa curi-curi minta difotokan teman pas posisi dekat dengan Tere Liye.
Saya paham soal ini karena pernah satu kali berkorespondensi dengannya. Itulah pertama kali kami melakukan korespondensi. Itu terjadi kala saya menjadi asisten redaktur halaman Minggu Lampung Post. Saya hendak menulis soal Tere Liye. Angle-nya pasti kuat dong. Penulis terkenal ini menghabiskan tiga tahun masa SMA di Bandar Lampung. Klop dengan publik pembaca Lampung Post tempat saya bekerja.
Mencari alamat surat elektronik (surel) alias email Tere Liye ini juga susahnya minta ampun. Saya sampai cari ke beberapa kenalan dan penerbit. Begitu alamat surel dapat, saya kirim surat. Intinya saya izin hendak melakukan wawancara tertulis lewat surel. Panjang saya menulis surat itu. Saya sampai menjelaskan bahwa kami ini seumuran, SMA sama-sama di Bandar Lampung hanya beda tempat, dan saya bekerja di Lampung Post koran tempat pertama kali karya Tere Liye dimuat, dan sebagainya.
Usai memastikan mantap isi surat, saya lantas mengirim. Besok saya cek sudah ada balasan. Alhamdulillah jawabannya tidak bersedia. Saya kemudian meyakini Tere Liye memang bukan tipikal orang yang narsisme. Ia hanya ingin dibicarakan dalam tataran kontekstual perihal karya bukan pribadi. Okelah kalau begitu.
Cerita ini sering saya sampaikan kepada mahasiswa, pelajar dan siapa saja di kelas menulis yang saya isi. Demikian pula kalau saya diminta menjadi pembicara seminar. Cerita menarik ini kerap saya sampaikan. Rata-rata pada kaget tahu nama asli Tere Liye ini Darwis. Publik juga kaget karena tahu masa SMA Darwis dihabiskan di sekolah yang kini namanya SMAN 9 Bandar Lampung.
Narasi dalam esai ini juga terbantu dengan beberapa rekaman Tere Liye mengisi acara dan ada di kanal Youtube. Dari situ saya mudah melakukan rekonstruksi dalam bentuk tulisan di esai ini. Pendek kata, salut dengan Darwis ini. Entah kapan saya bisa jumpa langsung dengannya dan berbincang beberapa hal penting.Â
Tapi saya juga ragu, jika berjumpa dengannya, apakah intelektualitas saya yang alakadarnya ini bisa mencapai taraf pembicaraan novelis kondang Indonesia itu. Darwis, semoga dirimu sehat dan sukses selalu. Salam hangat dari Bandar Lampung. [Adian Saputra]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H