Kala di kampus inilah saya makin keranjingan menulis. Saya pilih aktif di pers mahasiswa fakultas. Namanya Pilar Ekonomi. Tahun 1999 tulisan opini saya masuk Lampung Post perdana kali. Saya juga menulis cerpen, cerita anak, esai, dan resensi buku. Nyaris semua di Lampung Post.
Darwis bagaimana? Ia masuk UI dan kelas menulisnya sudah beda. Ia menulis di media nasional semacam, Kompas, Tempo, Republika, dan lain-lain. Benar kan, beda kelas banget dengan saya. Darwis memang luar biasa.
Rekam jejak Darwis sebagai kolumnis makin kuat. Analisisnya tajam. Rasanya tiap kali ia mengirim tulisan ke media massa, semua redaktur menerimanya. Tiada yang menolak.
Tahun 2005 barulah namanya tenggelam. Orang tidak tahu lagi ke mana Darwis ini. Hingga tiba-tiba muncul sebuah novel keren Hafalan Sholat Delisa yang bagus itu. Darwis sudah mengubah nama penanya dengan Tere Liye. Tere Liye adalah sebuah lagu berbahasa India yang jadi soundtrack film "Veer-Zaara" yang dibintangi Shah Rukh Khan.
Demikian sampai dengan sekarang kita mengenal Tere Liye. Saya sudah lama mengetahui beliau ini memang menolak untuk dipublikasikan secara pribadi. Ia ingin orang kenal karyanya bukan Tere Liye atau Darwis-nya. Maka itu, kalau ada acara gelar wicara soal kepenulisan, penggemar Tere Liye sulit mau foto bareng. Paling banter saat Tere Liye menandatangani buku, kita bisa curi-curi minta difotokan teman pas posisi dekat dengan Tere Liye.
Saya paham soal ini karena pernah satu kali berkorespondensi dengannya. Itulah pertama kali kami melakukan korespondensi. Itu terjadi kala saya menjadi asisten redaktur halaman Minggu Lampung Post. Saya hendak menulis soal Tere Liye. Angle-nya pasti kuat dong. Penulis terkenal ini menghabiskan tiga tahun masa SMA di Bandar Lampung. Klop dengan publik pembaca Lampung Post tempat saya bekerja.
Mencari alamat surat elektronik (surel) alias email Tere Liye ini juga susahnya minta ampun. Saya sampai cari ke beberapa kenalan dan penerbit. Begitu alamat surel dapat, saya kirim surat. Intinya saya izin hendak melakukan wawancara tertulis lewat surel. Panjang saya menulis surat itu. Saya sampai menjelaskan bahwa kami ini seumuran, SMA sama-sama di Bandar Lampung hanya beda tempat, dan saya bekerja di Lampung Post koran tempat pertama kali karya Tere Liye dimuat, dan sebagainya.
Usai memastikan mantap isi surat, saya lantas mengirim. Besok saya cek sudah ada balasan. Alhamdulillah jawabannya tidak bersedia. Saya kemudian meyakini Tere Liye memang bukan tipikal orang yang narsisme. Ia hanya ingin dibicarakan dalam tataran kontekstual perihal karya bukan pribadi. Okelah kalau begitu.
Cerita ini sering saya sampaikan kepada mahasiswa, pelajar dan siapa saja di kelas menulis yang saya isi. Demikian pula kalau saya diminta menjadi pembicara seminar. Cerita menarik ini kerap saya sampaikan. Rata-rata pada kaget tahu nama asli Tere Liye ini Darwis. Publik juga kaget karena tahu masa SMA Darwis dihabiskan di sekolah yang kini namanya SMAN 9 Bandar Lampung.
Narasi dalam esai ini juga terbantu dengan beberapa rekaman Tere Liye mengisi acara dan ada di kanal Youtube. Dari situ saya mudah melakukan rekonstruksi dalam bentuk tulisan di esai ini. Pendek kata, salut dengan Darwis ini. Entah kapan saya bisa jumpa langsung dengannya dan berbincang beberapa hal penting.Â
Tapi saya juga ragu, jika berjumpa dengannya, apakah intelektualitas saya yang alakadarnya ini bisa mencapai taraf pembicaraan novelis kondang Indonesia itu. Darwis, semoga dirimu sehat dan sukses selalu. Salam hangat dari Bandar Lampung. [Adian Saputra]