Nunung Nurdiah, itulah nama ibu saya. Kelahiran April 1955. Ibu pensiunan guru tahun 2015. Ia memperoleh gelar sarjana tahun 2012, tiga tahun sebelum ia pensiun. Cerita soal menjadi sarjana luar biasa menarik. Menempuh pendidikan PGSD pada saat usia senja. Namun, semangatnya luar biasa. Banyak yang tak sangka ibu sudah pensiun karena tampilannya awet muda.
Dulu, waktu saya SMA, sering ada teman menginap. Maklum saya aktif di OSIS dan Rohani Islam. Beberapa teman sering menginap kalau ada kegiatan dan kami rapat di rumah. Beberapa kakak kelas juga sering datang mengobrol kemudian bermalam.
Ibu tipikal perempuan yang gesit, supergesit malahan. Tak ada ceritanya kawany yang bermalam di rumah saya itu kelaparan. Subuh usai azan berkumandang, ibu sudah siap di dapur. Dulu masih pakai kompor minyak. Tiga kompor hidup semua.
Satu menanak nasi, satu menggoreng kerupuk dan telur, satu lagi memasak sayur atau tumisan. Saat kami selesai subuhan, sarapan pagi sudah siap. Kawan-kawan dan kakak kelas pada kagum. Sepagi ini mereka sudah bisa sarapan dan menikmati teh manis.
Ibu juga senang bersilaturahmi. Ada saja kenalannya. Baik di kampus maupun pergaulan keseharian. Ibu suka memberi kepada siapa saja. Kadang malah agak berlebihan. Kini ia sudah pensiun. Aktivitasnya saban hari menjadi wartawan? Ya wartawan meski tidak dalam kategori yang beneran.
Ibu suka mencatat apa saja. Terutama kalau sedang pengajian. Ia khidmat menyimak segala macam isi pengajian. Dengan buku besarnya ia menulis apa saja yang ia dengar. Kalau tak paham, ia pasti bertanya. Catatan di dalam buku acap ia ketik di WhatsApp kemudian dibagikan ke grup pengajiannya. Oh iya, ibu sekretaris kelompok pengajian PSKT, singkatan dari Pengajian Sosial Kerukunan Tetangga, di Masjid Istiqomah, Kelurahan Tanjungagung, Bandar Lampung.
Para ustaz yang mengisi juga kagum dengan ibu. Beberapa di antaranya sering kasih pujian.
"Tuh, ibu-ibu, kalau kayak Bu Nunung semua, pasti masuk semua materi pengajiannya. Karena dicatat dan enggak lupa. Kalau lupa, dibuka lagi catatannya," kata Ustaz Subni yang acap mengajar di kelompok pengajian ibu dan teman-temannya.
Ibu tekun menyimak paparan apa saja yang ia dengar dan ikuti. Kadang informasi dari Youtube juga ia catat dengan telaten. Tapi ringkasan catatan dia jangan dibandingkan dengan jurnalis profesional ya, hehehe. Menulis di WhatsApp ibu ada keunikan. Ia hanya menggunakan telunjuk kanan. Ia tidak mahir menggunakan dua telunjuk untuk mengetik di ponselnya. Alhasil, kadang ada kata yang enggak nyambung. Tapi jika disimak lama-lama ya akhirnya kita paham juga.
Kegemaran ibu menjadi wartawan pengajian ini menguntungkan teman-temannya di pengajian. Kadang ada yang lupa materi apa, tinggal buka di grup. Ibu sudah membuat intisari apa yang disampaikan pengajar.
Kebiasaan ibu ini sebetulnya sudah sejak lama. Ia memang tekun dalam mencari ilmu. Catatan di rumah sangat banyak. Bahkan, ia sering menyalin teks Alquran ke dalam huruf latin untuk mudah dihafalkan. Di tembok rumah kami entah sudah berapa kertas ia tempelkan. Entah itu doa, bacaan ayat Alquran, dan lainnya.