Jika disuruh mengenang masa kecil SD saat Ramadan, satu yang enggak bakal lupa ada tugas menulis jurnal Ramadan. Barangkali Kompasianer yang usianya 30-an, mungkin pernah mengalaminya. Ingat enggak, waktu SD, kita diminta membuat jurnal Ramadan. Menceklis salat wajib, menceklis salat tarawih, dan menulis resume Kultum. Termasuk menulis resume Khutbah Jumat.
Buat saya, kenangan itu berkesan. Sebab, secara tidak sadar, itu adalah sarana berlatih menulis berdasarkan reportase sederhana.
Ini yang sekarang tidak ada lagi. Padahal manfaatnya sangat banyak.
Dengan menulis jurnal, kita dilatih untuk jujur. Bisa saja semua kolom salat wajib dan tarawih kita ceklis. Namun, ada kalanya tidak salat. Ya namanya saja anak usia SD masa itu. Lebih banyak main ketimbang ibadah.
Menulis jurnal Ramadan ini manfaatnya sangat banyak. Selain melatih kejujuran, menulis jurnal Ramadan juga melatih kecerdasan literasi.
Kami dahulu dilatih membaca beberapa buku berkenaan dengan puasa. Juga dianjurkan membaca dan menghafal doa-doa pendek. Selain tentunya menghafal surat-surat pendek di Juz 30 atau Juz Amma.
Yang seru tentu saja menulis atau meresume Khutbah jumat dan kultum sebelum tarawih. Saat kultum, semua kawan saksama menyimak. Hebatnya, seingat saya, tidak ada yang menulis lebih dahulu di kertas buram. Semua langsung menulis di buku jurnal Ramadan. Kalau dipikir, waktu itu masih SD tapi dilatih berpikir dan menulis cepat.
Memang tidak begitu panjang. Namun, menulis resume kultum sepanjang 5 alinea itu rasanya butuh perjuangan banget. Kalau khotbah Jumat masih mendingan karena waktunya panjang. Masih ada waktu untuk menulis di buku. Tapi kalau kultum kan waktunya pendek. Bahkan ada yang di bawah tujuh menit.
Akan tetapi, dari situ, kami dilatih untuk menjadi "reporter" . Bagaimana tidak disebut reporter kalau malam itu juga tulisan mesti jadi. Begitu salat tarawih usai, buku dikumpulkan, ditumpuk kemudian diserahkan kepada imam salat. Dia kemudian menandatangani semua buku jurnal Ramadan kami.
Ada juga yang rada ribet karena mesti ditekan oleh imam salat dan pengisi kultum. Serunya itu deh. Berkerumun dekat imam masjid sambil melihat dia meneken semua buku kami. Usai itu, lega rasanya. Bagi kami, mungkin itu dasar-dasar jurnalistik yang kami sendiri tidak menyadarinya.
Ada baiknya, anak-anak sejak SD dilatih lagi menulis semacam itu. Itu adalah dasar-dasar yang baik agar mereka menyukai dunia menulis sejak dini. Tulis-menulis sekarang ini penting. Tujuannya anak-anak mempunya basis menulis yang baik.
Dengan adanya media sosial, mereka memang mengisinya dengan aktif, mengunggah foto. Namun, cara berbahasa tulis mereka cenderung belum begitu baik. Bahkan, ada yang dari sisi etiket sangat kurang.
Itulah sebabnya di media sosial kita banyak membaca status mereka yang jauh dari tata bahasa yang baik. Alih-alih demikian, malah masuk dalam kategori mem-bully.
Tradisi menulis jurnal Ramadan ini sebetulnya efektif. Bayangkan saja, selama satu bulan penuh, kami dahulu dilatih untuk menulis artikel pendek berupa resume kultum plus khutbah Jumat.
Padahal seingat kami, para guru tidak begitu menjelaskan detail soal resume itu. Tapi kami semua mampu membuatnya. Ada sih memang yang mencontek, tapi persentasenya tidak begitu banyak. Namanya juga anak-anak, hehehe.
Kalau sekarang anak-anak SD diberi tugas semacam itu lagi, saya setuju sekali. Manfaatnya sangat bagus. Manfaat secara teknis menulis maupun manfaat melatih kebersamaan. Yang lebih penting lagi, melatih kontinuitas ibadah Ramadan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H