Sedari dulu saya lebih menyukai mengetik atau menulis artikel di ponsel yang papan ketiknya timbul. Kita lazim menyebutnya qwerty. Qwerty ini hanya sebutan yang akrab dipakai untuk menyebutkan jenis ponsel dengan keypad atau tuts yang timbul.
Bagi saya, mungkin karena sedari awal mempunyai ponsel akrab dengan papan ketik timbul, sudah terlanjur suka dan ketergantungan. Sebelum lama menggunakan ponsel BlackBerry yang keypad-nya timbul, ponsel andalan saya juga punya tuts yang timbul. Nokia E63 yang lama saya pakai juga enak dipakai mengetik atau menulis. Bahkan, awal-awal menulis di Kompasiana, nyaris semua dengan Nokia E63 dengan keypad qwerty.
Begitu marak penggunaan BlackBerry, saya pun turut serta meski rada belakangan punya ketimbang rekan jurnalis yang lain.
Mengetik di BlackBerry makin menggiatkan kultur menulis saya. Beberapa artikel perihal kepedulian tempo itu, kisaran 2012-2013 banyak saya hasilkan dengan BlackBerry. Sayang, dua tahun lalu, ponsel itu hilang. Saya sedih sekali.
Era Android pun datang. Ponsel merek terkenal silih berganti melakukan penetrasi di pasar ponsel cerdas atawa smartphone.
Dulu pernah belajar Antropologi saat SMA, ada item belajar namanya culture shock atau gelar budaya. Yang biasa mengetik dengan keypad qwerty, kini beralih ke papan ketik virtual dengan kekuatan sentuh.
Ketika menulis, yang biasa ada sedikit tekanan untuk memastikan huruf muncul, kini sudah berganti. Tak ada menekan tombol saat mengetik. Jari, bagi saya, malah agak sakit karena saat ujung jari menyentuh layar sentuh, tak ada tekanan ke dalam. Ini seperti menekan sisi yang datar saja tapi agak aneh menikmati sensasi sentuhan di layar. Pendeknya, saya tak begitu nyaman dengan ponsel berlayar sentuh.
Sejak itu, saya kemudian mencari andorid dengan papan ketik qwerty. Sulit memang. Bahkan bisa dibilang tidak ada. Beberapa kawan menyarankan membeli papan ketik kecil saja yang dihubungkan dengan ponsel. Tapi, tak praktis cara itu.
Penantian itu kesampaian sebulan lalu. Ada BlackBerry Priv seken yang kondisinya masih oke punya. Harga memang masih tinggi. Tapi demi kenyamanan untuk mengetik dan mengedit plus posting, ponsel itu saya beli. Kebetulan adik sepupu di Jakarta yang mencarikan karena doi kerja di gerai besar ponsel.
Sejak punya ponsel anyar ini, gairah menulis saya naik drastis. Pas pula Ramadhan datang, Kompasiana memberikan tantangan menulis satu bulan penuh tanpa terputus dengan topik Ramadhan. Dan hingga tulisan ini saya unggah, 11 tulisan selama 9 hari puasa ini bisa saya rampungkan. Ya menulis, ya mengedit. Ya mengetik, ya memposting.
Meski ini pendapat pribadi, bagi saya nyaman banget bisa ketemu dengan ponsel cerdas berpapan ketik timbul. Dan dari pengalaman, ada beberapa kebaikan menggunakan ponsel dengan keypad qwerty ketimbang layar sentuh atau touch screen. Apa saja itu? Simak ya teman.
Pertama, presisi
Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan, presisi mempunyai makna ketepatan. Maksudnya adalah, menulis dengan ponsel dengan papan ketik qwerty menjadikan huruf yang kita niatkan diketik, akan tertulis dengan sempurna.Â
Sebab, jari kita akan menemukan bagian dari huruf yang timbul. Tekanan jari pada huruf lebih mantap terasa ditekan saat menulis ketimbang layar sentuh.
Banyak kawan bilang, mengetik di layar sentuh itu suka salah. Huruf mana yang mau diketik kadang malah lain yang muncul. Kesalahan sering pada huruf yang tertera dekat. Misalnya hendak menulis huruf "g" malah ke huruf "h" .
Presisi ini penting karena kita ingin naskah atau narasi yang bikin minim kesalahan ketik. Ini akan lebih berpeluang berhasil jika kita menggunakan tuts qwerty ketimbang layar sentuh.
Pengalaman saya pribadi juga demikian. Presisi huruf yang diketik bisa dibilang 99 persen tepat ketimbang menulis atau mengetik dengan layar sentuh.
Memang benar bahwa sekarang kita dimudahkan dengan kamus yang ada di Android. Begitu kita mengetikkan satu kata, akan muncul pilihan yang sesuai dengan keinginan. Pada BlackBerry Priv seperti yang saya gunakan sekarang, karena sama-sama berbasis Android, fitur itu juga ada.
Tapi tetap saja bagi saya lebih enak menulis satu kata dengan utuh ketimbang menjetikkan jari pada beberapa kata yang muncul di layar begitu kita baru membuat beberapa huruf dari kata itu.Â
Misalnya, baru saja kita hendak mengetik "Lamp" untuk "Lampung", pilihan di layar sudah ada. Ketimbang menjetikkan jari ke layar untuk kata "Lampung", lebih enak mengetiknya dengan lengkap "Lampung" pada papan ketik.
Kedua, kecepatan
Pengalaman selama ini, mengetik dengan papan qwerty lebih cepat ketimbang layar sentuh. Beberapa kawan jurnalis bahkan tetap mempunyai BlackBerry untuk kepentingan menulis berita dengan cepat ketimbang mengetik di ponsel berlayar sentuh.Â
Ketika tulisan di note BlackBerry sudah selesai, naskah itu mereka kirim ke ponsel yang satunya lagi melalui perantara BlackBerry Messenger. Atau yang terkoneksi dengan internet bisa langsung mengirim ke surat elektronik (surel) atau email.
Yang jelas, kecepatan menulis di papan ketik qwerty ini mirip ketika kita menulis dengan mesin tik. Meski untuk mesin tik, peluang mengetik salahnya agak besar ketimbang dengan ponsel.
Buat kita yang ingin melatih kecepatan menulis, ada baiknya menggunakan ponsel qwerty. Mudah-mudahan Anda merasakan kenikmatan kecepatan seperti yang saya rasakan.
Ketiga, sensasi
Meski sudah berupa ponsel, papan ketik qwerty tetap menimbulkan bunyi yang khas. Tentu tidak segarang suara mesin tik. Tapi, sensasi mendengarkan suara ketika tuts ditekan, buat saya, bikin suasana mengetik menjadi enak. Ponselnya ada bunyinya, enggak "diem-diem bae".
Beberapa penulis terkenal kabarnya juga sangat menyukai suara tuts ditekan sehingga menimbulkan efek yang membuat pikiran mereka segar.
Ini mirip dengan saya yang saat mengetik dengan tuts di keyboard yang suara tekanannya kuat. Sampai sering teman bilang, "Awas keyboard rusak".
Keempat, klasik
Sesuatu yang klasik itu asyik. Menulis dengan ponsel berpapan ketik ini anggap saja menikmati "masa lampau". Buat yang pernah menggunakan, hitung-hitung reuni dengan gawai yang dahulu pernah ada. Bagi kids zaman now, anggap saja mencoba sesuatu yang baru dan klasik. Yang klasik itu pada banyak pengalaman malah lebih mahal lho.
Bagi yang pernah lama mengetik di BlackBerry, bisa melanjutkan lagi kesukaan lamanya menulis dengan qwerty. Bagi yang baru, coba dibandingkan. Asyik mana mengetik dan menulis di layar sentuh atau di papan ketik asli.
Kelima, menjaga kultur menulis
Sejak akrab lagi dengan papan ketik qwerty, terlepas dari Kompasiana menggeber SamberTHR, kultur menulis saya memang kembali naik. Bekerja sehari-hari untuk mengedit tulisan teman-teman reporter untuk portal berita yang kami kelola, jejamo.com, juga menggunakan ponsel berpapan ketik ini.
Dan hebatnya, nyaris ada saja hal yang mau ditulis kalau sudah berdekat-dekatan dengan gawai ini. Jari ini rasanya kepingin terus nulis. Ada saja ide yang melintas di pikiran. Ketimbang terbuang sayang, ambil ponsel lalu mulai menulis.
Coba deh, balik lagi ke papan ketik ini. Rasakan sensasinya. Dengarkan bunyi halus. Nikmati juga perguliran ide di kepala saat kita menyentuh satu demi satu hurufnya, merangkainya dalam kata, menarasikannya dalam kalimat, dan mengkoherensikannya antarparagraf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H