Ramadan memungkinkan anggota keluarga intens dalam berkomunikasi. Misal saat berbuka, ayah bertanya keadaan sekolah anak, mengaji anak, kegiatan ekstrakurikuler, dan sebagainya. Ibu juga demikian. Anak-anak pun bisa bebas mendengar cerita ayah mereka saat bekerja.
Komunikasi semacam itu penting dibangun. Dengan begitu, kebersamaan dalam rumah tangga akan tercipta.
Kalau sesama anggota keluarga cuek, sulit mewujudkan romantisme di dalamnya. Yang ada hanya komunikasi verbal yang garing. Bahkan, sama-sama tidak acuh dengan urusan anggota keluarga lainnya.
Keempat, sibuk pakaian dan cat rumah baru ketimbang jiwa yang baru
Ini mirip dengan poin pertama. Namun, ini lebih pada pemenuhan sisi kejiwaan selama Ramadan. Wabilkhusus lagi pada 10 hari akhir Ramadan.
Sepuluh hari terakhir Ramadan, ada banyak aktivitas yang bisa dilakukan bersama anggota keluarga. Misalnya membiasakan iktikaf. Jika tak bisa di masjid, di musala rumah pun tak apa. Anak-anak bisa dilatih berupaya semaksimal mungkin mencapai target bacaan Alquran. Jika tak bisa khatam, minimal kelancaran membaca Alquran meningkat.
Contoh dari ayah dan ibu pada poin ini penting. Jika ingin membangun kultur religi yang kuat, teladan dari ayah dan ibu menjadi urgen.
Sayangnya, dan ini lazim, mendekati Lebaran, kesibukan makin mengarah pada hal yang duniawi. Pakaian baru, cat rumah baru, kue-kue, makanan enak selama Lebaran, dan sebagainya. Ini makin membuat intensitas pemenuhan jiwa dengan nilai agama makin kecil.
Kalau sudah semua fokus pada materi Lebaran, sulit bagi kita mewujudkan romantisme dalam keluarga. Semua sama-sama memikirkan kebendaan di hari-hari akhir Ramadan. Padahal, jika ini bisa dimaksimalkan, waktu yang "terbuang" di awal Ramadan, bisa ditutup di sini.
Sayangnya, ini makin sulit direalisasikan karena nakhoda keluarga tak cakap mengelola wadyabalanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H