Mungkin bagi sebagian orang, makan sahur itu berat sekali. Boleh jadi lebih berat ketimbang puasanya sendiri. Masih enak baca Alquran mungkin ketimbang bangun untuk bersahur. Mungkin lebih enak dan semangat tarawih ketimbang sahur.
Apalagi jika yang mesti sahur itu anak yang belum balig tapi sudah sunat. Umur sudah jelang 10 tahun dan memang kuat berpuasa. Setidaknya inilah yang saya alami dalam dua sampai tiga tahun belakangan. Ya benar. Membangunkan anak sahur memang luar biasa butuh perjuangan. Mirip membangunkan mereka untuk belajar salat subuh berjamaah di masjid.
Anak pertama kami, Nuh Muzaffar Quthuz namanya. Usianya mau 10 tahun. Tahun lalu sudah dikhitan. Sekarang kelas 3 sekolah dasar. Bacaan Alqurannya lumayan bagus. Tajwid oke. Cuma ya tetap saja, kalau sahur butuh perjuangan. Saya menyebutnya berjihad. Mudah-mudahan enggak lebay.
Barangkali semua orangtua punya pengalaman membangunkan anak untuk sahur. Kadang kayak enggak tega mau membangunkan. Tapi kalau enggak dilatih, nanti malah menyusahkan dia kala besar. Jadi, mau enggak mau, ya dipaksa-paksakan.
Tips membangunkan Nuh ya sederhana.
Pertama, tepuk pelan pipi dan bersuara lirih. Kalau beberapa menit belum bangun, masuk ke tips kedua. Apa tuh? Tepuk agak keras pipinya dan suara dinaikkan intonasinya. Biasanya ada efek. Paling enggak Nuh mulai melek sekali-dua meski tidur lagi. Semenit enggak ada respons, masuk ke tips ketiga.
Tips ketiga dikelitiki perutnya sampai mau bangun. Biasanya di tips ketiga ini sudah mau bangun. Kalau belum juga, masuk tips keempat alias yang terakhir. Langkah keempat ini butuh instrumen lain: air.
Penggunaan air ini jurus pamungkas. Dan biasanya sukses mesti tetap ditarik tangannya sampai nyawanya kumpul seluruhnya. Paling dia bilang, "Apa sih Abah ini. Basah tahu." Hahahaha. Biarlah. Yang penting sudah jihad bangunan anak untuk sahur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H