Cobalah mengadakan survei kecil-kecilan. Tanyakan kepada sepuluh anak kelas tiga SMA, mau ke mana mereka setelah lulus. Atau tanyakan kepada sepuluh calon sarjana, hendak ke mana mereka usai nanti mendapat toga sarjana?
Dari pengalaman berkali-kali bertemu komunitas ini, penulis menemukan kenyataan bahwa banyak yang gamang dengan hari depannya. Untuk menyebutkan kemana usai lulus saja, mereka sulit. Tidak ada dalam bayangan mereka, hendak ke mana hidup ini akan diteruskan.
Mau sekolah apa lagi usai tahapan sekolah yang ini selesai dijalani. Buat penulis, ini ihwal menarik, betapa sekolah, institusi resmi edukasi kita, termasuk orangtua dan entitas keluarga, gagal dalam menyusun peta jalan anak-anak kta.
Mengapa disebut gagal? Sebab, mereka tidak memiliki gambaran yang jelas, cita-cita yang spesifik, misi hidup yang terpetakan, usai mereka menjalani satu fase pendidikan, entah di tingkat SMA/SMK,maupun bangku kuliah. Mengapa ini terjadi? Dan mengapa edukasi secara umum belum mampu membuat peserta didik mempunyai cita-cita dan misi hidup yang jelas.
Alangkah "ruginya" para orangtua yang sudah membiayai kuliah anak-anaknya sampai sarjana tapi sang anak tak tahu mau ke mana selepas diwisuda. Jawaban umum adalah: bekerja. Entah bekerja di mana, pada bidang keahlian apa, bagaimana kariernya ke depan, dan sebagainya. Kata anak muda zaman sekarang: galau.
Ya, pendidikan kita ada di titik galau. Titik di mana pendidikan menjadi bagian penting dalam kehidupan tapi keluarannya malah tidak terdukasi untuk merancang konstruksi masa depan yang baik. Boleh jadi, ini akan menjadi penyumbang saham besar bagi edukasi semesta di Tanah Air.
Paparan yang akan penulis dedahkan di bawah ini setidaknya ingin berkontribusi terhadap nasib edukas kita. Tujuan besarnya adalah edukasi semesta bisa menjadi bagian urgen dalam kehidupan anak bangsa sehingga tapakan masa depan mereka dijejak dari sekarang. Setidaknya, ttik pertama untuk mencapai kunci kesuksesan, sudah dimulai saat pendidikan formal mulai dijalani peserta didik.
Potensi Diri
Persoalan penting dalam konteks edukasi menurut penulis adalah kegagalan dalam membantu peserta didik menemukan potensi diri. Potensi setiap anak tentu berbeda. Dalam konteks akademik saja, akan ada perbedaan secara minat, apakah lebih tertarik belajar IPA atau malah memilih mata pelajaran dalam skop IPS.
Dari sini saja sudah tergambar bahwa setiap anak berbeda talenta, berbeda bakat, dan tentu pula berbeda perlakuan. Sayangnya, penemuan talenta siswa ini tidak banyak yang sukses. Akibatnya adalah, banyak siswa yang galau.
Ada yang sebetulnya menyukai sejarah, kemudian menjadi tidak percaya diri untuk menyatakan kalau dia ingin menjadi sejarawan. Kata banyak orang, kalau jadi sejarawan, nanti makan apa. Apalagi dari orangtua juga ada penekanan untuk menjadi profesi pada keumuman di masyarakat, misalnya menjadi dokter, pegawai, insinyur, karyawan bank, dan sebagainya.
Menemukan potensi terbesar setiap siswa adalah hal yang sejak awal semestinya digali oleh sekolah dengan guru kelas, guru bimbingan konseling sebagai ujung rombak. Taruhlah misalnya kita mulai dari masa SMA. Dalam bayangan penulis, sejak kelas X atau kelas I SMA, siswa sudah diarahkan oleh sekolah untuk mencari jurusan yang paling tepat untuk dirinya.
Maka, setiap siswa mesti diketahui talenta yang paling optimal dimilikinya. Guru kelas, guru bimbingan konseling bisa mengetahuinya dengan beragam tes dan wawancara. Biarkan anak mengutarakan pendapatnya. Biarkan mereka bicara tentang visi dan misi hidupnya, hendak menjadi apa mereka nanti. Termasuk pelajaran apa yang paling mereka suka, hal apa yang paling mereka suka, apakah mereka suka berorganisasi atau tidak, apakah mereka suka olahraga tertentu atau tidak.
Dari sana kemudian bisa disimpulkan, apa talenta yang paling tinggi dari peserta didik kita. Dari situ, sekolah kemudian mengarahkan anak. Memang, jurusan yang ada di Indonesia, seperti IPA, IPS, Bahasa untuk sekolah  umum, mungkin belum begitu menjawab persoalan paling hakiki. Namun, setidaknya, peserta didik akan dimasukkan ke dalam kelas yang mereka suka dengan mayoritas pelajaran yang diberikan guru di dalam kelas. Mereka akan menikmatinya. Mereka akan enjoy. Setiap kesulitan dalam mata pelajaran tertentu pasti mereka sukai karena sudah tahu plus minus dari pelajaran yang diberikan.
Potensi lain mereka pun bisa digarap. Misalnya, mereka yang suka dengan organisasi, diarahkan untuk aktif di dalamnya, memiliki peran dalam organisasi, dan berusaha menyinkronkan pelajaran dengan aktivitas organisasi. Jika ada yang benar-benar menonjol sebagai pemimpin, sekolah dengan pemandu dari guru pembina OSIS, bisa memolesnya menjadi ketua OSIS atau ketua organisasi lainnya. Aktif dalam organisasi adalah pengejawantahan kecerdasan interpersonal yang mereka miliki.
Dengan berorganisasi, mereka akan terbiasa melontarkan gagasan, berani mengakui kesalahan, dan mau mendengar saran orang. Organisasi dalam noktah ini akan memberikan basis kesadaran mereka untuk menjadi pemimpin di masa mendatang.
Menajamkan Visi
Satu poin yang juga urgen dilakukan entitas pendidikan kita, plus orangtua adalah, membantu anak-anak menyusun visi dan misi hidup mereka. Poin apa yang hendak mereka raih dalam konteks yang paling tinggi. Cita-cita apa yang hendak mereka gapai di masa depan. Misi yang seperti apa yang hendak mereka lakukan dalam setiap satuan waktu yang mereka jalani.
Ini menjadi penting supaya persiapan mereka memasuki kehidupan di masa depan lebih terstruktur, punya capaian, dan dibikin dalam tahapan-tahapan waktu.
Mungkin ada yang berkomentar ini seperti pelatihan motivasi diri. Memang benar. Bedanya, ini memang masuk dalam "kurikulum" pendidikan kita dan menjadi tanggung jawab sekolah dengan wali kelas, guru bimbingan konseling, serta orangtua sebagai pemandu utamanya.
Ajaklah anak berpikir, dengan talenta yang mereka punya, apa visi hidup mereka. Kita ambil rata-rata, akan sukses dunia akhirat dengan berkontribusi pada lingkungan sosial. Tajamkan lagi visi mereka sehingga benar-benar tergambar secara jelas dan terukur.
Misalnya, menjadi pengusaha sukses dengan total penghasilan Rp100 miliar dan mempunyai yayasan sosial. Kira-kira mungkin demikian.
Dari situ, bantu lagi untuk menjabarkan dengan detail misi hidup. Dalam pembentukan sebuah program, langkah semacam ini dikenal dengan logical frame. Misi ini menjadi penting karena, kita anggap saja, menjadi tapakan mereka sejak SMA sampai mati. Merumuskan misi ini tentu tidak bakal sulit karena mereka sudah tahu potensi masing-masing. Tinggal mengklopkan saja dengan hal-hal yang mau dilakukan dan disesuaikan dengan potensi diri.
Jika ada siswa yang ingin menjadi pengusaha dengan kesukaan mereka terhadap bisnis, kita bisa membantu dengan memberikan panduan soal kampus atau sekolah setelah SMA. Dari situ kita bisa mengarahkan, akan menghadapi mata kuliah apa saja mereka di noktah itu. Seperti apa saja ujian dan tugas-tugas sehingga mereka punya dasar yang kuat menjadi pengusaha.
Kemudian, dibantu juga untuk mempraktikkan seperti apa menjadi pengusaha yang sukses. Pengusaha sukses mana saja yang harus mereka jadikan inspirasi dan patut ditiru. Kesulitan seperti apakah yang akan mereka dapatkan ketika menempuh jalan menjadi pengusaha, dan sebagainya.
Andaikata ada yang punya talenta menulis yang baik, kita bisa memberikan pemahaman kampus-kampus atau sekolah, atau pendidikan nonformal lain untuk mendukung mereka menjadi penulis yang baik. Buku-buku apa saja yang mereka harus lahap. Penulis mana saja yang mesti mereka temui untuk berguru. Berapa naskah yang harus mereka selesaikan dalam sepekan untuk menjadi penulis berkaliber internasional.
Pun demikian dengan ragam misi hidup lainnya. Misalnya ada yang hendak menjadi birokrat, politikus, guru, dosen, profesional bidang komputer, dan sebagainya.
Gerakan Semesta
Penulis sepakat dengan tawaran frasa Kompasiana yakni Konsep Pendidikan Gerakan Semesta. Justru, gagasan ini lahir karena memang ingin menjadikan setiap item yang penulis jelaskan sebagai bagian integral dari pendidikan kita.
Dan ini realistis untuk dilaksanakan. Instrumen di sekolah memungkinkan kita mengejawantahkan paparan ide di atas. Guru bimbingan konseling misalnya, akan mendapat tugas mahamulia ketimbang hanya dijadikan "polisi sekolah". Pekerjaan semacam ini justru adalah ihwal penting yang bisa dilakukan guru bimbingan konseling. Guru bimbingan konseling bukan lagi untuk memarahi siswa yang rambutnya gondrong, jarang masuk kelas, nakal, suka berkelahi, dan sebagainya.
Sebab, dengan mengimplementasikan paparan yang penulis ketengahkan, tugas guru bimbingan konseling akan semakin "mudah". Dalam artian tidak lagi dipusingkan dengan perilaku-perilaku kontraproduktif siswa, tetapi dipusingkan dengan mengatur masa depan anak-anak asuh mereka.
Andaipun ada masalah, pasti berkenaan dengan talenta dan visi-misi hidup mereka. Misalnya, kemauan mereka untuk sekolah setinggi mungkin terkendala dengan bujet yang dimiliki orangtua. Atau, ada beberapa pilihan untuk dijadikan sebagai profesi pada masa mendatang dan membutuhkan advis, mana yang paling optimal untuk dipilih.
Jika ini menjadi sebuah kesadaran bersama, institusi pendidikan kita benar-benar mencerdaskan. Siswa akan menjadi senang bersekolah karena di sanalah mereka bisa optimal dalam berkegiatan, belajar, dan menapaki masa depan, setahap demi setahap, selangkah demi selangkah. Bukankah yang namanya semesta terdiri dari beragam item yang saling berkelindan?
Maka, ini penting dilakukan sekarang juga. Momentumnya sungguh pas jika melihat keseriusan pemerintah ingin menjadikan institusi pendidikan sebagai pendidikan moral dan karakter. Inilah saatnya Konsep Pendidikan Gerakan Semesta menjadi basis kesadaran semua pengaku kepentingan dunia edukasi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H