[caption caption="Sebagian kru jejamo.com"][/caption]
Bicara soal saham, mungkin kita cepat ingat dengan sebuah tagar atau hashtag terkenal #PapaMintaSaham. Namun, cerita saya kali ini sederhana saja. Tidak ada unsur politik sama sekali. Ya sekadar berbagi saja di Kompasiana. Lagipula, ini mengobati rasa kangen saya karena sudah lama tak menulis di sini. Maklum, sok sibuk, hahaha. Kalaupun tulisan ini dijadikan headline oleh Admin, ya alhamdulillah. Andaipun tidak, ya alhamdulillah juga.
Profesi saya hingga tulisan ini saya tulis masih jurnalis. Hanya bedanya sudah berpindah dari satu media massa ke media massa lain. Saya mulai masuk menjadi “sekrup” media massa di Harian Umum Lampung Post pada 30 September 2004. Awal masuk menjadi staf di korektor bahasa atau copy editor. Koran ini milik Media Grup dengan bos besarnya Surya Paloh yang kini menjadi Ketua Umum Partai Nasdem.
Lima tahun di korektor bahasa, saya dimutasi ke Desk Politik. Agak unik karena di media massa ini, saya bisa dibilang tidak punya pengalaman “tempur” di lapangan. Untungnya, secara diam-diam, selama tiga tahun, saya sejak pagi sampai sore jam masuk di Lampung Post, nyambi menjadi kontributor Kantor Berita Radio 68 H atau KBR68H. Juga menyambi selama tiga tahun menjadi kontributor majalah Khalifah yang satu grup dengan tabloid Pulsa.
Di Lampung Post saya ditempa kemampuan editing, bahasa, dan menulis opini—sebuah keahlian yang saya pelihara sejak awal kuliah dan menulis di rubrik Opini koran ini. Di KBR68H dan majalah Khalifah, kemampuan reportase saya ditempa. Lumayan juga. Setidaknya ada pengalaman memburu narasumber di lapangan.
Tak lama di Desk Politik, saya dimutasi ke online Lampung Post yang dahulu bernama lampungpost.com. Kini namanya berubah menjadi lampost.co. Sejak di Desk Online, saya mulai mencari berita sendiri. Meski tugas utamanya editor, tak membuat saya enak-enakan di belakang meja. Setiap hari mesti bikin berita sendiri. Dua tahun di dunia maya, saya dimutasi lagi ke Desk Minggu.
Nah, di ranah ini, saya berhadapan dengan liputan yang mewangi. Pasalnya, mesti mengurus soal model, gaya hidup, kuliner, dan sebagainya. Genap setahun, saya pun dimutasi lagi ke Desk Humaniora. Namun, saya sudah punya ancang-ancang. Saya hendak mundur. Cukup belajar di sini selama 10 tahun.
Akhirnya saya mundur. Istilah kerennya resign, hehehe. Keluar dari Lampung Post, masuk berkutat di sebuah media online, duajurai.com. Kebetulan pemimpin redaksinya, Juwendra Asdiansyah, adalah senior saya di kampus. Juwe, demikian ia biasa disapa, menerima saya sebagai editor. Tanggal 16 Desember 2014, saya mulai bekerja di portal berita ini. Jumlah karyawannya tentu tak sebanyak Lampung Post yang mencapai ratusan.
Di sini kemampuan editing saya dan ilmu soal dunia portal berita bertambah. Juwe juga bilang, bekerja di sini jangan sekadar bekerja, tapi juga belajar. Saya memaknainya dengan teramat baik. Alhasil sepengetahuan saya, peringkat portal berita ini di situs pemeringkat alexa.com melejit, bahkan menjadi tiga terpopuler di Lampung. Jumlah pengunjung dan pageviews-nya pun lumayan. IP adress yang masuk dan terpantau via Google Analytic juga oke punya.
Usai sepuluh bulan, tepatnya 5 Oktober 2015, saya pamit mundur baik-baik dari portal berita ini. Meski cukup mendadak, saya memutuskan mundur. Sebuah pekerjaan baru menanti saya.
Beberapa bulan bekerja selepas dari Lampung Post, saya ada pemikiran untuk lebih baik. Maksudnya, kalau kita merasa punya kemampuan, tak mengapa mengajukan penawaran khusus kepada mereka yang ingin merekrut kita. Dengan kata lain, hargailah diri sendiri.
Saya berpikir, dengan pengalaman kerja selama ini, mungkin ada kans lebih baik dari sisi tantangan, karier, dan juga soal kesejahteraan. Sedari lama, saya memang menggadang-gadang agar jurnalis juga punya saham di perusahaan media tempat dia bekerja.
Maka, saya berusaha mencari apakah ada media massa, wabilkhusus portal berita, yang bersedia memberikan secuil saham kepada pekerja medianya. Harapan itu hadir saat sebuah portal berita baru tayang di Lampung. Namanya jejamo.com. jejamo ini bahasa Lampung yang artinya kira-kira berjamaah atau bareng-bareng. Sebuah nama yang pas secara filosofi dan enak pula didengar.
Dua pemilik utamanya masih muda. Kebetulan pula sudah kenal lama. Yang satu adik kelas waktu di SMAN 2 Bandar Lampung, yang satunya karib di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan sering mengerjakan proyek penulisan bareng.
Saya kemudian mengajukan diri untuk bergabung karena saat mereka membuat web ini, saya pun diberi informasi. Apalagi saya mengetahui, person untuk mengurus redaksi pada pucuk pimpinan belum ada yang ajek.
Saya kemudian mengajukan diri bergabung. Namun, lantaran pengalaman bekerja di beberapa media dan mau ada progres, saya mengajukan empat keinginan: jabatan pemimpin redaksi, gaji layak dan manusiawi, saham sekian persen meski kecil, dan mobil dinas. Alhamdulillah, dua anak muda pemilik jejamo.com sepakat. Maka, per tanggal 5 Oktober saya mulai bertugas. Tiga poin permintaan disetujui dengan lekas. Hanya soal mobil dinas masih menunggu progres perusahaan. Buat saya semua itu sudah oke.
Paling tidak, komitmen yang dibangun kedua pihak memang terlihat dengan jelas. Saya mencoba mempertaruhkan semua kredibilitas dan kemampuan saya di web seumur jagung ini. Alhamdulillah, progres jelas. Dengan dukungan tim IT yang tangguh, selama empat bulan, pengunjung dan jumlah halaman jejamo.com yang dibuka pembaca, makin banyak. Pergerakan peringkat kami di situs pemeringkat internasional alexa.com naik signifikan.
Hingga tulisan ini saya bikin dan posting di Kompasiana, peringkat Indonesia jejamo.com di angka 1.777. Ini peringkat web tertinggi yang ada di Lampung, bahkan Sumatera bagian selatan. Beberapa “raksasa” online yang lebih duluan tayang, peringkatnya alhamdulillah di bawah jejamo.com. soal jejamo.com cukup sampai di sini.
Sesuai dengan topik tulisan, yang ingin saya ulas adalah soal kepemilikan saham. Pekerja media, setahu saya, memang sudah sering menyuarakan agar saham karyawan diberikan. Meski nominal kecil, itu penting untuk masa depan.
Beberapa jurnalis senior AJI di Jakarta, kabarnya sudah banyak yang pindah kerja dan mendapat jabatan bagus serta saham. Ini penting. Karena jurnalis juga mau sejahtera. Tapi buat Lampung, mungkin baru kali ini ada yang “berani” demikian dan ndilalahnya disetujui manajemen.
Ada beberapa keuntungan jika pekerja media diberikan saham.
Pertama, karyawan merasa memiliki perusahaan. Dengan memberikan saham, karyawan akan merasa memiliki perusahaan itu. Baik buruknya performa perusahaan pers atau media massa, akan tergambar dari kinerja pekerjanya. Dan jika pekerja sudah merasa itu rumah mereka sendiri, insya Allah akan bekerja giat dan tak malas-malasan.
Semua kemampuan akan dimaksimalkan demi perusahaan. Demi konten berita yang menarik. Demi jumlah pembaca yang bejibun. Demi pageviews yang terus melejit. Dan sebagainya.
Karyawan akan merasa hidup matinya ada di sini. Ngebul tidaknya dapur rumah tangga mereka juga ditentukan di sini. Nasib anak istri, kesehatan, dan pendidikan, juga ada di sini. Totalitas akan diberikan. Mungkin pada saat awal, nominal saham masih kecil. Seiring waktu, nilai saham akan semakin besar dan jika ada dividen, tentu lambat laun juga ikutan terkerek.
Kedua, perusahaan “mengunci” karyawan sebagai aset. Bagi perusahaan, diberikan saham kepada karyawan juga bukan sesuatu yang merugikan. Ini mesti dilihat sebagai bentuk kerja sama dua pihak. Bukan masanya lagi melihat karyawan sebagai pekerja an sich. Karyawan mesti dilihat dan diperlakukan sebagai aset. Mereka adalah kekayaan tak terkira. Butuh waktu lagi melatih karyawan baru yang menggantikan pegawai lama. Ketimbang habis waktu melatih karyawan baru, yang lama dijaga, dirawat, dimanusiakan, dijadikan aset.
Posisi kantor pun akan kuat jika sebagian saham ada pada karyawan. Psikologisnya, karyawan akan makin giat dalam bekerja. Mereka akan memaksimalkan semua kemampuan demi kemajuan perusahaan. Barangkali, dan ini pengalaman pribadi, karyawan tak melulu terbelenggu dengan jadwal kerja reguler. Mungkin mereka akan menambah jam kerja satu hingga dua jam dalam sehari demi menaikkan performa kantornya.
Ketiga, lebih banyak ide untuk kemajuan perusahaan. Dengan memberikan saham, ide dan gagasan bermutu demi kebaikan perusahaan insya Allah makin banyak. Setiap person yang ada saham di perusahaan akan memberikan gagasan terbaik agar kantor mereka eksis hingga hari akhir nanti. Ini tentu kurang bisa maksimal diberdayakan di banyak kantor yang pekerjanya sebatas aktivitas reguler.
Ide itu penting. Gagasan itu mahal. Sebab dari situlah akan muncul kreasi dan inovasi. Ide di kepala pimpinan atau pemilik tentu terbatas. Ada kalanya buntu. Ada kalanya kosong. Zonk. Maka, pekerjanya bisa memberikan masukan yang brilian demi kemajuan perusahaan.
Tiga poin itulah yang saya pribadi rasakan selama bekerja di rumah baru ini. Tentu kesibukan meningkat. Namun, ini adalah wujud tanggung jawab atas amanat yang diberikan. Termasuk bentuk responsibilitas saya terhadap saham yang diberikan. Hubungan timbal balik yang harmonis semacam ini akan menjadikan perusahaan sehat, insya Allah. Paling tidak, sesuai banget dengan namanya, jejamo, bareng-bareng, berjamaah. Selamat memasuki tahun 2016. Semoga semua pekerja media bisa mendapat saham di tempatnya bekerja. Ya, saham manis buat jurnalis. Wallahualam bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H