Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agar Dasasila Bandung Menggaung Sampai ke Penjuru Kampung

22 Mei 2015   22:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:42 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Buat mereka yang berdomisili di Bandung, kemeriahan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika bisa disaksikan dengan mata telanjang. Warga Bandung tentu merasakan benar betapa bangganya mereka karena kota tercinta disinggahi banyak kepala negara. Lebih dari itu, pengalaman 60 tahun lalu di saat Konferensi Asia Afrika dihelat, Bandung yang terpilih menjadi host.

Segala persiapan menjelang acara sudah dipersiapkan dengan matang. Apalagi dengan dikomandoi Wali Kota Ridwan Kamil, Bandung benar-benar bersolek. Duh, bangganya Kota Bandung dan segenap warganya. Saat Presiden Joko Widodo berjalan menuju Gedung Asia Afrika diiringi beberapa kepala negara, seolah menjadi puncak kemeriahan.

Pesona Bandung memang sulit ditandingi kota lain dalam hal ini. Apalagi ketika kota ini sudah bersolek dengan kesungguhan wali kota dan warganya. Ini makin menegaskan Bandung sebagai favorit dalam dunia wisata Indonesia yang banyak diulas di Indonesia Travel.

Ribuan warga Bandung menyaksikan acara yang menawan itu. Mereka bangga, kota mereka bisa menyambut tetamu dari mancanegara. Sayangnya, kemeriahan ini mungkin tidak begitu dirasakan penduduk di belahan kota lain di Indonesia. Taruhlah di tempat penulis menetap: Bandar Lampung.

Gegap gempita acara di televisi yang menayangkan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika hanya bisa disimak dengan “kering”. Bacaan di media cetak dan portal berita juga menjadi pelengkap informasi. Namun, merayakan kemeriahan yang mungkin ingin dilakoni warga kota lain menjadi sirna. Padahal, momentum Konferensi Asia Afrika adalah titik balik perjuangan negara dunia ketiga untuk menegaskan posisinya di tengah persaingan negara adidaya saat itu: Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Padahal, sebetulnya kita bisa menjadikan momentum kemeriahan itu tak hanya terjadi di Bandung dan Jakarta, dua kota yang menjadi tuan rumah perhelatan mahaakbar itu. Namun, apa yang bisa kita lakukan agar kemeriahan, kegegap-gempitaan warga Kota Bandung menyambut 60 Tahun Konferensi Asia Afrika itu juga bisa dinikmati warga kota lainnya?

Kuncinya ada pada edukasi. Edukasi? Ya, edukasi. Begini kira-kira penjelasannya. Momentum 60 Tahun Konferensi Asia Afrika adalah kejadian langka. Hanya sekali seumur hidup. Mungkin baru akan tersaingi saat dihelat 100 Tahun Konferensi Asia Afrika. Apakah ide ini terlambat? Tentu ya jika merujuk 60 Tahun KAA. Namun, tidak kita merujuk masa depan.

Dalam ranah edukasi, Kementerian Pendidikan sebetulnya bisa mengedarkan informasi kepada semua elemen pendidikan di segenap penjuru negeri hingga ujung-ujung kampung agar menggelorakan sejarah Konferensi Asia Afrika dalam intrakurikuler atau ekstrakurikuler. Bagaimana teknisnya?

Insya Allah mudah. Menjelang perayaan peringatan Konferensi Asia Afrika, segenap guru sejarah di semua sekolah di semua tingkatan di Indonesia, diminta untuk mengulang sejarah konferensi akbar itu. Para guru sejarah diminta meluangkan satu jam pelajaran dalam pekan mendekati perayaan untuk menceritakan kembali ihwal konferensi.

Penulis meyakini, banyak anak bangsa yang belum mengerti dan memahami mengapa konferensi itu diadakan. Mengapa Indonesia yang menjadi tuan rumah. Siapa saja pesertanya. Dan apa sesungguhnya rumusan  Dasasila Bandung yang menjadi wujud konkret konferensi itu.

Dengan memberikan atau mengulang pelajaran di sekolah, tentu siswa akan mengingat kembali peristiwa nan menyejarah itu. Akan lebih baik jika dalam upacara bendera, tema yang diangkat adalah soal konferensi tersebut. Guru atau bahkan kepala sekolah bisa mencuplik sejarah konferensi dalam amanat upacara. Dengan begitu, siswa akan tergugah bahwa di negara mereka pernah terjadi sebuah peristiwa yang menandai babak baru dalam perlawanan terhadap kolonialisme dan penyatuan persamaan hak setiap bangsa.

Kemeriahan suasana peringatan Konferensi Asia Afrika juga bisa dilakukan dengan variasi program. Misalnya dengan mengadakan sosiodrama soal perjalanan konferensi. Tentu sangat menarik jika di banyak SD digelar drama tentang konferensi itu. Para guru tentu sejak awal memberikan bimbingan dan mengarahkan. Siswa yang dipilih kemudian diminta membaca sinopsis sejarah konferensi. Setelah anak-anak memahami dengan baik, bagilah tugas kepada mereka menjadi tokoh-tokoh dalam konferensi itu.

Ada yang menjadi Presiden Sukarno, ada yang menjadi Gamal Abdel Nasser, ada yang menjadi Jawaharlal Nehru, dan sebagainya. Wah, asyik sekali jika mereka bisa melakoni para tokoh besar itu. Dengan visualisasi semacam itu, anak-anak akan terdukasi dengan sendirinya. Kawan-kawan mereka yang menonton juga mendapat pasokan informasi yang terpapar secara visual dan itu bagus. Ketimbang mungkin mereka jenuh dengan pemaparan sejarah di muka kelas, dengan cara ini materi pelajaran akan lebih masuk dan terekam dalam otak siswa.

Akan lebih akbar jika dalam satu kota diadakan kompetisi drama Konferensi Asia Afrika. Peserta tentu lebih banyak dan sebaran informasi soal konferensi akan semakin masif. Akan sangat lucu dan menarik tentu saja menyaksikan anak-anak beradu akting sesama mereka. Selain menumbuhkan semangat nasionalisme, semangat berkompetisi juga diadu di sini. Anak-anak akan belajar bersaing secara sehat, menunjukkan akting terbaik, dan belajar soal kompetisi yang jujur. Tanpa terasa, semangat menumbuhkan kembali memori konferensi 60 tahun lalu itu terwujud.

Anak-anak adalah objek utama penting dalam edukasi di bangsa kita. Dengan memasukkan unsur konferensi dalam edukasi, terlebih dengan praktik drama, mereka bisa mudah memahami sebuah konferensi bernama Asia Afrika. Pengetahuan mereka sudah pasti bertambah. Dan yang tentu saja bakal langgeng adalah mereka akan mengingat dengan baik bahwa mereka sudah berpartisipasi dalam kemeriahan konferensi meski mereka belum pernah sekalipun ke gedung tempat KAA dilaksanakan.

Dasasila Bandung pada hakikatnya mengikat semua elemen bangsa. Bukan hanya entitas pemerintahan negara yang terlibat di sini. Semua anak bangsa juga berhak tahu dan mengejawantahkan Dasasila Bandung itu. Mungkin mirip dengan Pancasila. Tidak sekadar dihafal, tapi anak-anak mesti mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Jika dikaitkan dengan persoalan yang sedang in sekarang dalam konteks kenegaraan dan kemanusiaan, semisal pengungsi Rohingya, kita bisa mengaitkannya. Mengapa orang-orang Rohingya terusir dari Myanmar yang kebetulan negara yang dahulu bernama Burma ini ikut Konferensi Asia Afrika.

Dari sini anak-anak sekolah bisa mengaitkan sejarah dengan peristiwa yang sedang kontektual. Kalau hanya mengandalkan intrakurikuler yang cenderung satu arah, dengan model permainan atau drama, hal ini bisa lebih mendalam lagi pembahasannya.

Anak-anak kita mesti juga diajari soal kemanusiaan, sesuatu yang menjadi ihwal utama dalam Konferensi Asia Afrika. Dengan bermain peran, edukasi akan cepat terekam dalam otak dan memberikan kesadaran kepada mereka betapa pentingnya konferensi ini ada untuk masa depan dunia yang lebih baik.

Jika ini sulit diwujudkan dalam ranah pendidikan formal, pemerintah pusat bisa memberikan ide kepada pemerintah daerah sampai pemerintah tingkat paling kecil semisal desa dan kelurahan untuk mengadakan acara berkenaan dengan peringatan Konferensi Asia Afrika. Caranya bisa dengan mengadopsi apa yang penulis kemukakan di atas: drama.

Tentu akan semakin meriah jika anak-anak di ujung kampung bermain peran para tokoh dalam konferensi itu. Disaksikan ratusan pasang mata di balai desa, anak-anak memerankan para tokoh dan pemimpin dunia kala bersidang. Soal konten sidang, tentu berkenaan dengan konferensi. Tentu tidak paripurna. Dan itu tidak masalah. Dikembangkan sendiri dengan langgam daerahnya, tentu semakin baik. Intinya agar kemeriahan 60 Tahun atau 70 Tahun Konferensi Asia Afrika bisa juga dirasakan segenap warga negara. Termasuk mereka yang jauh dari Bandung. Juga yang ada di sudut-sudut kampung. Wabilkhusus Lampung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun