Saya mendapat pengalaman berharga hari ini tentang kejujuran. Maukah Anda membacanya? Begini ceritanya. Usai mengantar istri bekerja, saya menuju Bank Muamalat Cabang Utama Lampung di Jalan Raden Intan, Bandar Lampung. Kantor bank ini persis di depan Toko Buku Gramedia. Saya agak bergegas karena ini hari Jumat. Waktu di ponsel menunjukkan pukul 10.00. Saya berupaya hadir agak awal untuk salat Jumat.
Setiba di Muamalat, saya memarkirkan motor. Ketika membuka bagasi motor, saya teringat membawa sabak elektronik, iPad. Saya kemudian membawa gadget itu ke dalam bank. Di depan pintu masuk, dua sekuriti menyambut saya dengan ramah. Saya mengucapkan salam dan menjabat erat tangan mereka. Saya masuk ke dalam.
Saat menulis slip setoran, iPad saya letakkan di etalase menulis slip setoran. Usai itu, saya duduk menunggu giliran. Di tangan ada tiga buah buku tabungan dan sejumlah uang. Saya mau menyetor tabungan dan dana pensiun milik saya dan istri. Saya sama sekali tidak ingat kalau saya membawa iPad ke dalam. Saya baru sadar saat seorang satpam berkulit putih dan cukup rupawan, berkeliling ke nasabah di dalam bank. Ia membawa gadget serupa tablet yang terbungkus tempat iPad berwarna hitam. Saya baru sadar. Yang dibawa satpam itu iPad milik saya yang tertinggal saat menulis slip setoran! Saya kemudian mengacungkan tangan dan mengatakan bahwa itu iPad saya. Satpam itu dengan tulus mengembalikan iPad itu. Saya kemudian mengucapkan terima kasih.
Usai urusan setor-menyetor kelar, saya pamit. Saya ucapkan terima kasih sekali lagi kepada sekuriti itu. Entah apa jadinya kalau iPad itu hilang. Gadget itu dalam tiga bulan ini menjadi alat kerja saya. Mulai dari menulis berita, menulis artikel, mengunggah tulisan untuk Kompasiana, mengunggah berita ke Lampost.Co (Lampung Post) tempat saya bekerja, dan pekerjaan menulis lainnya. Hanya untuk mengedit naskah buku saja Ipad ini jarang saya gunakan. Sebab, agak sulit menaruh kursor dengan ujung jemari.
Apalagi, iPad ini cukup bersejarah buat saya. Gadget ini hadiah dari Muhammad Taufiqullah, seorang PNS di Dinas Bina Marga Provinsi Lampung. Ia memberikan hadiah ini usai saya menuliskan biografi bapaknya, Haji Mursyid Arsyad, S.H. Saya menduga, Mas Opik, demikian saya menyapanya, senang dan puas dengan pekerjaan saya menulis biografi orangtuanya.
Saya menulis artikel ini usai salat Jumat. Sebelumnya saya berdoa kepada Allah, agar satpam yang tadi mengembalikan iPad kini kepada saya diberikan keberkahan, rezeki yang melimpah, kesehatan, keluarga yang harmonis, dan masuk surga. Sebab, buat saya, kejujuran kini menjadi barang yang langka.
Saya ingat ketika dua buah ponsel saya jatuh dan kemudian amblas. Cerita singkatnya begini. Sekitar tahun 2004, saya didapuk menjadi ketua umum Forum Kerja Sama Alumni Rohis (FKAR) Bandar Lampung. Kami sedang mempersiapkan pesantren kilat pelajar. Usai rapat di Masjid Al Wasi'i kompleks kampus Universitas Lampung, saya dan seorang teman menuju Islamic Center, Rajabasa. Tujuan kami melihat lokasi acara. Saya membawa dua ponsel ketika itu. Keduanya bermerek Nokia. Satu GSM, satu lagi Flexi. Yang Flexi pemberian adik kandung saya, ya semacam "pelangkah" karena dia menikah lebih dahulu dari saya. Dua ponsel itu saya tempatkan di satu buah sarung. Karena menggelembung jika dimasukkan di celana, saya meletakkannya di cantelan di bawah setang motor.
Seorang pengurus FKAR, Apriwasa, sudah mengingatkan. "Jangan ditaruh di situ, Kak, nanti jatuh." Saya mengiyakan. Tapi dua ponsel itu masih tercantel di bawah setang motor. Kuda besi saya lajukan. Saat dekat lokasi, di dekat SMA Al Kautsar, motor melintasi polisi tidur. Saya tidak sadar, kantung ponsel terjatuh di jalan. Saya baru sadar hilang saat tiba di lokasi Islamic Center. Saya kalut. Dua telepon lo. Saya balik ke Al Kautsar dan memelototi setiap ruas jalan yang saya lewati. Namun, dua ponsel itu tidak ada. Pas saya telepon menggunakan ponsel teman, ponsel saya tak bisa dihubungi. Dua-duanya. Masya Allah. Hilang.
Kenang-kenangan dari adik kandung pun hilang. Saya kemudian mengirim SMS agar si penemu ponsel saya bersedia mengembalikan. Saya tulis juga, saya bersedia menggantinya dengan sejumlah uang. Namun, berhari-hari, tak ada jawaban. Saya legawa ponsel saya hilang dua. Ujian keikhlasan saat benda yang kita sayangi hilang.
Nah, berkaca dari pengalaman hari ini, ternyata kejujuran menjadi barang langka. Begitu ada orang yang jujur, kita seolah terkesima. Padahal sebetulnya, kejujuran semestinya menjadi katakter setiap muslim dan bangsa Indonesia. Mungkin ini yang menjadikan Indonesia sekarang berkubang dengan tabiat korupsi.
Usai salat, saya menelepon seorang adik kelas di SMAN 2 Tanjungkarang, yang bekerja di tempat yang sama dengan satpam itu. Dicky Pramudya, nama adik kelas itu, saya telepon usai salat jumat. Saya kabarkan soal kejadian siang tadi. Saya bertanya siapa nama satpam itu dan berapa nomor teleponnya. Saya ingin sekali lagi mengucapkan terima kasih. Dicky kemudian berjanji mengirimkan nomor ponsel satpam itu yang kemudian saya tahu bernama Faizar Ahmad. Ya Allah, berkahilah kehidupan Faizar dengan segala rahmat-Mu. Dan jadikan ia orang yang hidup dalam kejujuran sampai khatimah umurnya. Aamiin. Untuk manajemen Muamalat, berbahagialah memiliki karyawan berbudi pekerti luhur seperti dia. Semoga keberkahan selalu menyertai dia dan keluarga. Sekali lagi ucapan terima kasih yang tulus saya haturkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H